Pendeta Masuk Islam Setelah Menyaksikan Jenazah

Pendeta Masuk Islam Setelah Menyaksikan Jenazah

Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.

Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.

Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.

Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.

Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”

Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”

Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…(istod/AH/alsofwah.or.id)

Artikel www.KisahMuslim.com

Kuliah Sambil Mengaji

Kuliah Sambil Mengaji

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kegiatan kuliah terasa amat menyibukkan. Sibuk dengan berbagai tugas, harus buat presentasi, menyusun laporan praktikum dan lebih sibuk lagi jika sudah menginjak semester-semester akhir. Apakah mungkin kesibukan ini bisa dibarengi dengan menuntut ilmu agama? Jawabannya, mungkin sekali. Segala kemudahan itu datang dari Allah. Maka bisa saja seorang engineer menjadi pakar fiqih. Bisa jadi pula seorang ekonom menjadi pakar hadits. Atau seorang ahli biologi menjadi hafizh Al Qur’an. Semua itu bisa terwujud karena anugerah dan kemudahan dari Allah.

Realitas, Lebih Banyak Menyia-nyiakan Waktu

Mahasiswa sebenarnya punya banyak waktu senggang. Cuma sebagian mahasiswa saja yang benar-benar menyia-nyiakan waktunya. Tidak setiap saat ia mesti mendapatkan tugas. Tidak setiap hari mesti kerjakan laporan praktikum. Mahasiswa yang tidak pintar membagi waktu saja yang selalu “sok sibuk”.

Sebagian mahasiswa masih bisa menyisihkan waktu untuk renang dengan shohib dekatnya. Ia masih sempat juga untuk fitness meskipun di kala laporan praktikum menumpuk. Ia juga masih sempat berpetualang menjelajah berbagai gunung meskipun minggu depan ada ujian mid. Ia masih bisa begadang semalam suntuk untuk menanti pertandingan Liga Champions meskipun katanya ada banyak tugas yang mesti diselesaikan. Sebagiannya pula bisa menyisihkan waktu untuk update status setiap jam di FB (Facebook), twitter dan semacamnya. Mau tidur, mau makan, mau renang, bahkan mau ke WC sekali pun bisa ada statusnya di jejaring sosial tadi. Namun soal ngaji (istilah untuk mendalami ilmu agama) bisa menjadi nomor sekian baginya. Padahal aneh kan, hal-hal tadi bisa ia lakukan. Sedangkan berkaitan dengan urusan akhiratnya di mana ia wajib mempelajari Islam karena ibadah-ibadah tertentu akan ia lewati setiap harinya. Setiap muslim tentu mesti mengetahui bagaimanakah ia harus berwudhu yang benar sehingga shalatnya pun bisa sah. Ia pun  harus tahu apa saja yang termasuk pembatal-pembatal shalat, sehingga shalatnya tidak jadi sia-sia. Ia pun harus tahu bagaimana mandi wajib.

Lihatlah mereka bisa menyisihkan waktu untuk hal-hal dunia yang kadang sia-sia. Namun untuk hal yang menyangkut akhirat mereka, di mana tentu ini lebih urgent, mereka tidak bisa membagi waktu dengan baik. Benarlah firman Allah Ta’ala,

[arabic-font]يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ[/arabic-font]

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7).

Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)

Beberapa Sampel

Beberapa orang bisa membuktikan bahwa mereka di samping kuliah di pagi hari, sore harinya masih bisa “ngaji” (menuntut ilmu agama). Bahkan ada di antara mahasiswa yang bisa menjadi hafizh Al Quran dengan sempurna di masa kuliahnya. Ada pula yang bisa menguasai ilmu aqidah dengan baik padahal ia seorang dokter. Setelah kuliah pun ia bisa menyusun beberapa buku berkaitan dengan masalah aqidah dari hasil ia belajar di saat-saat kuliah dulu (paginya kuliah, sorenya ia duduk di majelis ilmu). Ada pula yang amat pakar dalam bahasa Arab dan menjadi seorang ustadz yang mumpuni dalam hal aqidah serta ilmu lainnya, padahal ia adalah sarjana biologi. Yang lainnya lagi adalah seorang dosen (lulus S3), namun tidak diragukan ia sangat mumpuni dalam ilmu hadits hasil dari belajar dulu  bersama beberapa ustadz di saat-saat ia kuliah. Bahkan di Arab Saudi sendiri ada seorang ulama yang dulunya adalah seorang yang belajar ilmu Teknik Kimia. Dan saat ini, beliau menjadi imam dan ulama yang jadi rujukan. Ia pun memiliki situs yang berisi berbagai fatwa yang sering dikunjungi dari berbagai negara. Ada lagi ulama yang dahulunya belajar ilmu teknik mesin. Saat lulus ia mendalami ilmu hadits dan menjadi hafizh al quran. Karya-karya beliau dalam tulisan pun amat banyak. Dua ulama yang kami sebutkan di sini adalah Syaikh Sholeh Al Munajjid dan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohumallah.

Itu sekedar beberapa contoh riil yang kami ketahui. Kami yakin masih banyak contoh-contoh lainnya yang mungkin para pembaca sendiri mengetahuinya. Ini pertanda bahwa orang yang belajar ilmu umum (ilmu teknik, ekonomi, IT, dll) sebenarnya tidak terhalang untuk belajar agama bahkan bisa menjadi ulama atau pun ustadz karena kerajinannya di luar jam kuliah untuk mengkaji Islam. Itulah karunia Allah untuk mereka-mereka tadi.

Mulai Belajar Islam

Kalau sudah tahu demikian, Anda selaku mahasiswa seharusnya tidak usah ragu lagi untuk menaruh perhatian pada ilmu diin (ilmu agama). Cobalah mulai dengan mempelajari Islam mulai dari dasar. Terutama pelajarilah hal-hal yang wajib yang jika Anda tidak mengetahuinya maka bisa terjerumus dalam dosa atau bisa meninggalkan kewajiban. Inilah ilmu yang wajib dipelajari.

Selaku mahasiswa wajib punya ilmu aqidah dan tauhid yang benar sesuai dengan pemahaman generasi terbaik Islam (salafush sholeh). Cobalah mempelajari beberapa tulisan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab seperti Qowa’idul Arba’ (empat kaedah memahami syirik), Tsalatsatul Ushul (tiga landasan dalam mengenal Allah, Islam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan Kitab Tauhid (pelajaran tauhid dan syirik secara lebih detail). Kitab-kitab aqidah pun ada yang mudah dipelajari seperti Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyah dan Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah karya Abu Ja’far Ath Thohawiy.

Anda pun wajib mempelajari fiqih secara bertahap terutama pelajaran bagaimana cara wudhu yang benar, bagaimana cara mandi wajib, dan bagaimana shalat yang benar serta berbagai hal yang berkaitan dengan hal-hal tadi. Amat mudah jika Anda menguasai dari fiqh madzhab sebagaimana anjuran para ulama. Karena di negeri ini menganut madzhab Syafi’i, Anda bisa belajar dari berbagai kitab fiqh Syafi’iyah. Pelajari dari matan-matan yang ringkas seperti kitab Al Ghoyah wat Taqrib karya Abu Syuja’ dan Minhajuth Tholibin karya Imam An Nawawi. Inilah kitab dasar yang bisa Anda kuasai. Setelah itu bisa melanjutkan dengan kitab fiqih yang lebih advance dengan mendalami dalil-dalil lebih jauh. Baru setelah itu bisa menelaah berbagai pendapat ulama dan perselisihan mereka dalam hal fiqih sehingga akhirnya kita tidak fanatik pada satu madzhab atau satu imam. Anda pun bisa menguasai fiqih melalui berbagai buku hadits seperti dari kitab ‘Umdatul Ahkam karya ‘Abdul Ghoni Al Maqdisi dan kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar Al Asqolani. Untuk memahami kitab-kitab fiqih ini, Anda bisa memiliki berbagai kitab syarh (penjelasan) dari masing-masing kitab.

Buku-buku yang kami sebutkan di atas sudah cukup mudah ditemukan saat ini di berbagai toko buku Islam bahkan sudah banyak yang diterjemahkan. Sehingga tidak ada alasan bagi yang belum menguasai bahasa Arab untuk terus belajar. Namun jika Anda sambil menguasai bahasa Arab terutama menguasai grammar-nya dalam ilmu Nahwu dan Sharaf itu lebih baik. Karena menguasai bahasa tersebut bisa membuat Anda meneliti lebih jauh kitab-kitab ulama secara lebih mandiri.

Selain mempelajari hal-hal di atas, tambahkan pula dengan mempelajari berbagai kitab akhlaq dan tazkiyatun nufus (manajemen hati). Juga janganlah sampai tinggalkan hafalan Al Qur’an. Karena orang yang menghafal Al Qur’an sungguh memiliki banyak keutamaan dan faedah di tengah-tengah umat. Lebih-lebih di akhirat hafalan Al Qur’an ini membuat dia lebih ditinggikan derajat di surga. Lalu para ulama pun menganjurkan untuk menghafal berbagai matan atau berbagai kitab ringkas seperti menghafalkan kitab kecil yang berisi 42 hadits yaitu Al Arba’in An Nawawiyah. Menghafal seperti ini memudahkan kita menguasai ilmu Islam dengan lebih mudah.

Sabar dalam Belajar

Kalau dilihat, terasa begitu banyak yang harus dipelajari. Sebenarnya tidak juga karena mempelajari berbagai buku di atas itu bertingkat-tingkat. Ada yang lebih dasar, baru setelah itu beranjak pada yang lebih lanjut. Jadi belajar yang baik adalah secara bertahap. Sehingga di sini butuh kesabaran dalam belajar dan belajar butuh waktu yang lama. Yang terbaik pula adalah belajar di majelis ilmu lewat guru. Lihatlah sya’ir Imam Asy Syafi’i,

 

[arabic-font]

أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ

 

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانٍ

[/arabic-font]

 

Saudaraku … ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya : (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.

Pintar Bagi Waktu

Modal yang penting “nyambi” belajar Islam adalah pintar membagi waktu. Cobalah membagi waktu mulai dari Shubuh hari sudah bisa menghafal Al Qur’an. Butuh satu jam untuk menyisihkan waktu kala itu. Setelah itu sediakan waktu untuk persiapan kuliah di pagi hari. Pukul 7 atau 8 sudah bisa berangkat ke kampus. Di waktu-waktu shalat atau waktu senggang saat di kampus bisa digunakan untuk muroja’ah Al Qur’an atau mengerjakan tugas-tugas kampus sehingga tidak menumpuk keesokan harinya. Pulang kampus di siang atau sore hari bisa istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa capek. Di sore hari sehabis ‘Ashar bisa digunakan untuk mengikuti berbagai majelis ilmu sampai dengan waktu ‘Isya. Di waktu malam bisa digunakan untuk mengerjakan tugas kuliah. Sebelum tidur bisa digunakan menghafal berbagai matan, mengulang hafalan Al Qur’an atau mengulang pelajaran yang ikuti di kajian.

Jadi cuma kepintaran saja membagi waktu, niscaya kita bisa kuliah sambil “ngaji”. Dan jangan lupakan minta pertolongan Allah agar dimudahkan mempelajari agama di samping kuliah. Doa ini amat menolong. Jika kita memohon kemudahan pada Allah, pasti segala urusan tadi akan begitu mudah. Berbeda halnya jika kita bergantung pada diri sendiri yang begitu lemah.

Semoga Allah mudahkan kita selaku mahasiswa untuk dapat meraih keduanya, bahkan bisa menjadi pakar pula dalam ilmu agama dan bisa turut membantu dakwah agar tersebar seantero negeri kita ini.

Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 24 Jumadal Ula 1432 H (27/04/2011)

www.rumaysho.com

Menikah, separuh agamamu yang sempurna

Di zaman ini tidak ragu lagi penuh godaan di sana-sini. Di saat wanita-wanita sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Di saat kaum hawa banyak yang tidak lagi berpakaian sopan dan syar’i. Di saat perempuan lebih senang menampakkan betisnya daripada mengenakan jilbab yang menutupi aurat. Tentu saja pria semakin tergoda dan punya niatan jahat, apalagi yang masih membujang. Mau membentengi diri dari syahwat dengan puasa amat sulit karena ombak fitnah pun masih menjulang tinggi. Solusi yang tepat di kala mampu secara fisik dan finansial adalah dengan menikah.

Menyempurnakan Separuh Agama

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

[arabic-font]إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي[/arabic-font]

Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Lihat bahwa di antara keutamaan menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama dan kita tinggal menjaga diri dari separuhnya lagi. Kenapa bisa dikatakan demikian? Para ulama jelaskan bahwa yang umumnya merusak agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya. Kemaluan yang mengantarkan pada zina, sedangkan perut bersifat serakah. Nikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Itu berarti dengan menikah separuh agama seorang pemuda telah terjaga, dan sisanya, ia tinggal menjaga lisannya.

Al Mula ‘Ali Al Qori rahimahullah dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih berkata bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertakwalah pada separuh yang lainnya”, maksudnya adalah bertakwalah pada sisa dari perkara agamanya. Di sini dijadikan menikah sebagai separuhnya, ini menunjukkan dorongan yang sangat untuk menikah.

Al Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqotul Mafatih) berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak) dan lebih menundukkan pandangan.”

Kenapa Masih Ragu untuk Menikah?

Sebagian pemuda sudah diberikan oleh Allah keluasan rizki. Ada yang kami temui sudah memiliki usaha yang besar dengan penghasilan yang berkecukupan. Ia bisa mengais rizki dengan mengolah beberapa toko online. Ada pula yang sudah bekerja di perusahaan minyak yang penghasilannya tentu saja lebih dari cukup. Tetapi sampai saat ini mereka  belum juga menuju pelaminan. Ada yang beralasan belum siap. Ada lagi yang beralasan masih terlalu muda. Ada yang katakan  pula ingin pacaran dulu. Atau yang lainnya ingin sukses dulu dalam bisnis atau dalam berkarir dan dikatakan itu lebih urgent. Dan berbagai alasan lainnya yang diutarakan. Padahal dari segi finansial, mereka sudah siap dan tidak perlu ragu lagi akan kemampuan mereka. Supaya memotivasi orang-orang semacam itu, di bawah ini kami utarakan manfaat nikah yang lainnya.

(1) Menikah akan membuat seseorang lebih merasakan ketenangan.

Coba renungkan ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,

[arabic-font]وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا[/arabic-font]

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum:21).

Lihatlah ayat ini menyebutkan bahwa menikah akan lebih tentram karena adanya pendamping. Al Mawardi dalam An Nukat wal ‘Uyun berkata mengenai ayat tersebut, “Mereka akan begitu tenang ketika berada di samping pendamping mereka karena Allah memberikan pada nikah tersebut ketentraman yang tidak didapati pada yang lainnya.” Sungguh faedah yang menenangkan jiwa setiap pemuda.

(2) Jangan khawatir, Allah yang akan mencukupkan rizki

Dari segi finansial sebenarnya sudah cukup, namun selalu timbul was-was jika ingin menikah. Was-was yang muncul, “Apa bisa rizki saya mencukupi kebutuhan anak istri?” Jika seperti itu, maka renungkanlah ayat berikut ini,

[arabic-font]وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ[/arabic-font]

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Nikah adalah suatu ketaatan. Dan tidak mungkin Allah membiarkan hamba-Nya sengsara ketika mereka ingin berbuat kebaikan semisal menikah.

Di antara tafsiran Surat An Nur ayat 32 di atas adalah: jika kalian itu miskin maka Allah yang akan mencukupi rizki kalian. Boleh jadi Allah mencukupinya dengan memberi sifat qona’ah (selalu merasa cukup) dan boleh jadi pula Allah mengumpulkan dua rizki sekaligus (Lihat An Nukat wal ‘Uyun). Jika miskin saja, Allah akan cukupi rizkinya. Bagaimana lagi jika yang bujang sudah berkecukupan dan kaya?

Dari ayat di atas, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

[arabic-font]التمسوا الغنى في النكاح[/arabic-font]

Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.”  (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengenai tafsir ayat di atas).

Disebutkan pula dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,

[arabic-font]وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ[/arabic-font]

“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai no. 3218, At Tirmidzi no. 1655. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”. Jika Allah telah menjanjikan demikian, itu berarti pasti. Maka mengapa mesti ragu?

(3) Orang yang menikah berarti menjalankan sunnah para Rasul

Allah Ta’ala berfirman,

[arabic-font]وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً[/arabic-font]

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’du: 38). Ini menunjukkan bahwa para rasul itu menikah dan memiliki keturunan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

[arabic-font]أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ الْحَيَاءُ وَالتَّعَطُّرُ وَالسِّوَاكُ وَالنِّكَاحُ[/arabic-font]

Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah.” (HR. Tirmidzi no. 1080 dan Ahmad 5/421. Hadits ini dho’if sebagaimana kata Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Namun makna hadits ini sudah didukung oleh ayat Al Qur’an yang disebutkan sebelumnya)

(4) Menikah lebih akan menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

[arabic-font]يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ[/arabic-font]

Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

Imam Nawawi berkata makna baa-ah dalam hadits di atas terdapat dua pendapat di antara para ulama, namun intinya kembali pada satu makna, yaitu sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Jadi bukan hanya mampu berjima’ (bersetubuh), tapi hendaklah punya kemampuan finansial, lalu menikah. Para ulama berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu berjima’ karena ketidakmampuannya untuk memberi nafkah finansial, maka hendaklah ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim)

Itulah keutamaan menikah. Semoga membuat mereka-mereka tadi semakin terdorong untuk menikah. Berbeda halnya jika memang mereka ingin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang belum menikah sampai beliau meninggal dunia. Beliau adalah orang yang ingin memberi banyak manfaat untuk umat dan itu terbukti. Itulah yang membuatnya mengurungkan niat untuk menikah demi maksud tersebut. Sedangkan mereka-mereka tadi di atas, bukan malah menambah manfaat, bahkan diri mereka sendiri binasa karena godaan wanita yang semakin mencekam di masa ini.

Menempuh Jalan yang Benar

Kami menganjurkan untuk segera menikah di sini bagi yang sudah berkemampuan, bukan berarti ditempuh dengan jalan yang keliru. Sebagian orang menyangka bahwa menikah harus lewat pacaran dahulu supaya lebih mengenal pasangannya. Itu pendapat keliru karena tidak pernah diajarkan oleh Islam. Pacaran tentu saja akan menempuh jalan yang haram seperti mesti bersentuhan, berjumpa dan saling pandang, ujung-ujungnya pun bisa zina terjadilah MBA (married be accident). Semua perbuatan tadi yang merupakan perantara pada zina diharamkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

[arabic-font]وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا[/arabic-font]

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)

Kemudian nasehat kami pula bagi mahasiswa yang masih kuliah (masih sekolah) bahwa bersabarlah untuk menikah. Sebagian mahasiswa yang belum rampung kuliahnya biasanya sering “ngambek” pada ortunya untuk segera nikah, katanya sudah tidak kuat menahan syahwat. Padahal kerja saja ia belum punya dan masih mengemis pada ortunya. Bagaimana bisa ia hidupi istrinya nanti? Kami nasehatkan, bahagiakan ortumu dahulu sebelum berniat menikah. Artinya lulus kuliah dahulu agar ortumu senang dan bahagia karena itulah yang mereka inginkan darimu dan tugasmu adalah berbakti pada mereka. Setelah itu carilah kerja, kemudian utarakan niat untuk menikah. Semoga Allah mudahkan untuk mencapai maksud tersebut. Oleh karenanya, jika memang belum mampu menikah, maka perbanyaklah puasa sunnah dan rajin-rajinlah menyibukkan diri dengan kuliah, belajar ilmu agama, dan kesibukan yang manfaat lainnya. Semoga itu semakin membuatmu melupakan nikah untuk sementara waktu.

Adapun yang sudah mampu untuk menikah secara fisik dan finansial, janganlah menunda-nunda! Jangan Saudara akan menyesal nantinya karena yang sudah menikah biasa katakan bahwa menikah itu enaknya cuma 1%, yang sisanya (99%) “enak banget”. Percaya deh!

Semoga sajian ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 26 Jumadal Ula 1432 H (29/04/2011)

www.rumaysho.com