Fatwa MUI tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal & Dzulhijjah

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Majelis Ulama Indonesia,

MENIMBANG:

  • (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
  • (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
  • (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
  • (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :

  • (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
  • (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.

2. Hadis-hadis Nabi s.a.w. (shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :

  • (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
  • (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
  • (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.

3. Qa’idah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN:

  1. Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
  2. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
  3. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama : Fatwa

  1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
  2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
  3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
  4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua : Rekomendasi

Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA,

KOMISI FATWA,

Ketua: KH. Ma’ruf Amin Sekretaris: Hasanudin

Sumber: Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Yang Layak Jadi Guru Ngaji

Yang Layak Jadi Guru Ngaji

Allah berfirman yang artinya, “Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS Yasin:21).

Ibnu Sa’di mengatakan, “Ikutilah orang yang memberikan nasehat kepadamu, yang menginginkan kebaikan untukmu, bukan seorang yang menginginkan harta dan upah darimu karena nasehat dan bimbingan yang dia berikan kepadamu. Ini merupakan faktor pendorong untuk mengikuti orang yang memiliki sifat demikian. Namun boleh jadi ada yang bilang, ‘memang boleh jadi dia berdakwah dan tidak meminta upah dengan dakwahnya namun ternyata dia tidak berada di atas kebenaran’. Kemungkinan ini Allah bantah dengan firmanNya, ‘Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk’. Hal ini karena mereka hanyalah mendakwahkan hal-hal yang dinilai baik oleh akal sehat dan mereka hanya melarang untuk mengerjakan hal-hal yang dinilai buruk oleh akal sehat” (Taisir al Karim al Rahman hal 817, cetakan Dar Ibnu al Jauzi).

Pepatah arab mengatakan, faaqidus syai’ laa yu’thihi, orang yang tidak punya tidak akan bisa memberi. Sebagaimana orang yang tidak punya uang tidak akan pernah bisa memberi uang kepada orang lain maka demikian pula orang yang tidak berada di atas hidayah tentu tidak bisa bagi-bagi hidayah.

Dalam ayat di atas Allah menjelaskan ciri dai yang bisa bagi-bagi hidayah karena dia memang berada dalam hidayah yaitu tidak meminta upah dengan dakwah dan nasehatnya.

Tidak hanya sebatas meminta upah berupa harta, namun juga tidak meminta upah dalam bentuk penghormatan, cium tangan, disowani, diminta mencoblos partai tertentu, dimintai membuat kartu anggota organisasi tertentu ataupun tergabung dalam kelompok pengajian tertentu.
Inilah ciri orang yang layak kita jadikan sebagai guru ngaji kita.

Syeikh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qosim mengatakan, “Dalam dakwah ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu ikhlas karena mengharap melihat wajah Alloh dan sesuai dengan sunnah Rasulullah. Jika seorang dai tidak memenuhi kriteria pertama maka dia adalah musyrik. Tetapi jika syarat kedua yang tidak terpenuhi maka dia adalah mubtadi’. Demikian pula, seorang dai harus mengetahui materi yang hendak didakwahkan baik berupa perintah maupun larangan sebagaimana seharusnya lembut ketika memerintah dan melarang suatu hal” (Hasyiah Kitab at Tauhid hal 55).

[arabic-font]وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ[/arabic-font]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungguhnya para nabi itu tidak memwariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu agama” (HR Abu Daud no 3741, dinilai shahih oleh al Albani).

Adalah menjadi ketentuan untuk semua nabi, jika mereka meninggal dunia maka harta warisan mereka tidak jatuh kepada keluarganya namun menjadi hak sosial. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa dakwah yang diusung oleh para nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik adalah dakwah yang ikhlas. Mereka berdakwah bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau anggota keluarga dan keturunan.

Andai harta warisan para nabi itu dibagikan kepada keluarganya maka boleh jadi ada orang akan berpikir bahwa nabi demikian rajin berdakwah adalah supaya anggota keluarganya berkecukupan hingga tujuh keturunan.

Dengan adanya ketentuan di atas maka orang akan semakin yakin bahwa dakwah para nabi hanyalah karena Alloh. Mereka ingin agar masyarakat berubah semakin baik, semula syirik menjadi tauhid, bid’ah menjadi sunnah dan maksiat menjadi ketaatan.
Jangan terburu-buru menjadikan seseorang sebagai guru ngaji kita sebelum sifat di atas ada pada mereka. Tidak semua muslim layak dijadikan guru dan tidak semua orang yang kita kenal adalah tempat kita bertanya tentang masalah agama.

artikel : http://ustadzaris.com/

“Gara-Gara Wanita …”

“Gara-Gara Wanita …”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

[arabic-font]إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ[/arabic-font]

Perempuan itu menghadap ke muka dalam rupa setan dan menghadap ke belakang dengan rupa setan” (HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Tentang makna hadits di atas, Nawawi berkata, “Para ulama’ menyatakan bahwa makna hadits adalah isyarat bahwa hawa nafsu dan maksiat itu terjadi karena perempuan, karena Allah menjadikan dalam diri para laki-laki kecenderungan kepada perempuan dan merasa nikmat gara-gara memandang perempuan bahkan memandang berbagai hal yang berkaitan dengan mereka. Jadi perempuan itu serupa dengan setan dalam masalah suka mengajak kepada keburukan dengan bisikan dan anggapan indah yang dibuat oleh setan.

Bisa disimpulkan dari hadits di atas bahwa perempuan itu tidak sepatutnya keluar rumah dan berada di antara para laki-laki kecuali dalam kondisi terpaksa.

Laki-laki juga seyogyanya tidak memandang kepada perempuan meski hanya pakaiannya saja dan seharusnya berpaling dari perempuan tanpa terkecuali (Syarh Muslim oleh Nawawi, 9/178).

Sedangkan penulis Aunul Ma’bud, Syarh Sunan Abi Daud mengatakan, “Nabi menyerupakan perempuan dengan setan karena memiliki kesamaan karakter yaitu suka menimbulkan was-was dan menyesatkan yang dibisiki. Alasan lain adalah karena memandang perempuan dari arah manapun hanya menghasilkan dorongan untuk melakukan keburukan” (Aunul Ma’bud, 6/132). Hal senada juga disampaikan oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi, “Nabi menyerupakan perempuan dengan setan karena adanya kesamaan karakter yaitu suka berbisik-bisik dan suka mengajak kepada keburukan” (Tuhfatul Ahwadzi 4/270).
Mujahid berkata, “Ketika seorang perempuan datang menuju seorang laki-laki maka setan duduk di atas kepalanya lalu menjadikan perempuan tersebut menarik bagi laki-laki yang memandangnya. Sedangkan ketika seorang perempuan berjalan membelakangi laki-laki maka setan duduk di pantatnya lalu menjadikannya menarik bagi laki-laki yang memandangnya” (Tafsir Qurthubi 12/227).

Demikianlah keadaan kebanyakan perempuan, menjadi makhluk penggoda iman kecuali perempuan-perempuan yang Alloh sayangi. Namun betapa sedikitnya jumlah mereka.

Iblis menyodorkan godaan melalui perempuan guna menyesatkan dan merusak. Al Qur’an telah menguraikan contoh-contoh bencana yang terjadi karena faktor perempuan.

Karena Perempuan Alloh hancurkan kaum Tsamud

Ibnu Jarir dan ulama’ salaf yang lain menyebutkan adanya peranan dua perempuan dari kaum Tsamud. Yang pertama adalah Shaduq putri dari al Mahya bin Zuhair bin al Mukhtar. Dia adalah perempuan kaya dan berstatus bangsawan. Semula dia bersuamikan seorang muslim namun akhirnya perempuan ini menceraikan suaminya. Setelah itu dia undang saudara sepupunya sendiri, Mashro’ bin Mahraj lalu menawarkan tubuhnya kepada sepupunya tersebut dengan satu persyaratan yaitu membunuh onta Nabi Shalih.

Peran kedua untuk hancur dan binasanya kaum Tsamud itu di tangan Anbarah binti Ghanim bin Majlaz yang memiliki julukan Ummu Utsman. Dia adalah seorang perempuan tua dan kafir. Dia memiliki empat anak perempuan dari suaminya, Dzu’ab bin Amru yang merupakan salah seorang pemuka kaum Tsamud. Perempuan tua ini menawarkan keempat putrinya kepada Qadar bin Salif. Bila Qadar bisa membunuh onta Nabi Shalih maka dia bisa memilih satu dari empat putri Anbarah.

Kedua pemuda ini, Mashro’ dan Qadar bersegera untuk bisa membunuh onta tersebut dengan berusaha mencari dukungan tenaga. Ada tujuh orang yang merespon dan siap membantu. Sehingga jumlah total mereka adalah sembilan orang. Mereka inilah yang Alloh maksudkan dalam QS an Naml:48.

Sembilan orang ini lalu mempropaganda yang lain untuk membunuh onta. Akhirnya seluruh kabilah Tsamud bersepakat dan mendukung rencana pembunuhan onta tersebut.

Akhirnya mereka berangkat untuk mengintai onta. Ketika onta yang dimaksudkan muncul dari kalangan onta-onta yang hendak mendatangi mata air, Mashro’ bersembunyi untuk menyergap. Mashro’ akhirnya memanah kaki onta tersebut dan anak panah berhasil menancap di tulang kaki onta. Saat itu datanglah para gadis-gadis untuk membujuk dan menyemangati para laki-laki agar membantu usaha pembunuhan onta tersebut dengan cara menebar pesona melalui wajah-wajah cantik mereka.

Qadar bin Saliflah yang paling dahulu mengayunkan pedangnya dengan keras sehingga urat di atas tumit onta tersebut putus lalu tersungkurlah onta itu ke bumi. (Lihat Tafsir Thabari 12/531-534 dan Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir 1/127).

Perempuan yang menyemangati Mashro’ adalah isteri pejabat. Sedangkan yang menyemangati Qadar bin Salif juga isteri pejabat.

Perempaun pertama menawarkan tubuhnya kepada Mashro’. Sedangkan perempuan kedua menawarkan putri-putrinya kepada Qadar. Secara umum perempuan-perempuan kabilah Tsamud juga membujuk para laki-laki untuk membunuh onta dengan menonjolkan kecantikan wajah mereka.
Singkat kata, akhirnya kaum Tsamud Alloh hancurkan karena mereka berani membunuh onta Nabi Shalih. Keberanian ini timbul dan menguat karena para perempuan.

Karena Perempuan Kepala Nabi Yahya dipenggal

Hal ini diucapkan oleh Asma’ binti Abu Bakr kepada Ibnu Umar di salah satu bagian dari Masjidil Haram. Ini terjadi ketika Ibnu Zubair, putra Asma’ disalib. Ibnu Umar menoleh ke arah Asma’ seraya berkata, “Jasad anakmu ini sebenarnya bukanlah apa-apa, sdangkan yang di sisi Alloh hanyalah arwah. Oleh karena itu bertakwalah kepada Alloh dan bersabarlah”.
Jawaban Asma’, “Apa yang menghalangiku untuk bersabar. Kepala Yahya bin Zakaria saja yang jauh lebih mulia telah dihadiahkan kepada seorang pelacur” (Siyar A’lamin Nubala’ 2/294 dengan para perawi yang kredibel). Perkataan Asma’ di atas menunjukkan bahwa Nabi Yahya dibunuh karena permintaan seorang pelacur.

Walaupun buku-buku sejarah berbeda-beda dalam menjelaskan kejadian ini namun bisa kita simpulkan isinya adalah sebagai berikut.

Ada seorang raja di Damaskus kala itu yang ingin menikahi salah seorang mahramnya atau perempuan yang tidak halal dia nikahi. Nabi Yahya berupaya mencegah niat buruk sang raja ini namun ternyata perempuan tersebut juga menginginkan sang raja. Maka dua orang ini merasa jengkel dengan Nabi Yahya. Pada saat terjadi hubungan badan yang haram antara perempuan ini dengan raja, perempuan tersebut meminta kepada sang raja agar mempersembahkan darah Nabi Yahya kepadanya. Raja ini lantas dengan penuh ketundukan memerintahkan seseorang agar membunuh Nabi Yahya. Setelah berhasil dilaksanakan, kepala Nabi Yahya dipersembahkan kepada perempuan tersebut. (Lihat al Bidayah wan Nihayah 1/49).

Demikianlah lemahnya laki-laki di hadapan godaan perempuan, seorang makhluk yang nampaknya lemah secara fisik namun memiliki kemampuan luar biasa untuk membuat seorang laki-laki yang gagah perkasa bertekuk lutut di hadapannya sehingga datang memelas mengharap segelas rasa cintanya. Benarlah apa yang Alloh firmankan,

[arabic-font]وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً[/arabic-font]

“Dan Manusia itu diciptakan dalam kondisi lemah”(QS an Nisa’:28). Terkait ayat di atas terdapat penjelasan yang menarik dari seorang tabiin yaitu Thawus sebagaimana yang disebutkan oleh Sufyan ats Tsauri dalam Tafsirnya. Beliau mengatakan

[arabic-font]كان اذا نظر الى النساء لم يصبر عنهن[/arabic-font]

“Jika laki-laki-laki memandang seorang maka dia tidak akan mampu ‘bersabar’ menahan gejolak yang ada di hatinya terhadap perempuan tersebut” (Jawabul Kafi karya Ibnul Qayyim hal 171, cetakan Darul Kutub ‘Ilmiyyah).

Secara khusus Ibnul Qoyyim menjelaskan ayat di atas dengan mengatakan, “Dalam ayat ini Alloh menyebutkan keringanan yang Alloh berikan untuk manusia dan menceritakan kelemahan manusia. Hal ini menunjukkan lemahnya manusia (baca:laki-laki) untuk menghadapi keinginan yang satu ini. Oleh karena itu Alloh memberikan keringanan terkait syahwat terhadap perempuan dengan membolehkan menikahi perempuan-perempuan yang diinginkan baik dua, tiga ataupun empat. Di samping itu Alloh bolehkan untuk menyetubuhi budak-budak perempuan yang dimiliki atau bahkan menikahi budak perempuan milik orang lain jika memang diperlukan. Ini semua merupakan terapi dari Alloh untuk mengobati syahwat yang satu ini dalam rangka memberi keringanan dan sebagai rahmat untuk makhluk yang lemah ini” (Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 4/250, cetakan Muassasah ar Risalah).

Sungguh tepat penjelasan Ibnu Abbas terkait pengertian mata yang khianat dalam surat Ghafir:19. Beliau berkata, “Yang dimaksud ‘mata yang khianat’ adalah seorang laki-laki yang bertamu di sebuah rumah. Di rumah tersebut terdapat seorang perempuan yang cantik atau kebetulan seorang perempuan cantik melintas di depan rumah tersebut. Jika tuan rumah tidak memperhatikannya, dia pandangi perempuan tersebut. Namun jika tuan rumah memperhatikannya maka buru-buru dia menundukkan pandangan. Demikian yang dia lakukan berulang kali. Sungguh Alloh mengetahui isi hati laki-laki ini. Dia berkenginan andai bisa memandang kemaluan perempuan tersebut” (Riwayat Ibnu Hatim, lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas).

Artikel www.ustadzaris.com