Hewan Kurban Cacat Karena Kecelakaan

Hewan Kurban Cacat Karena Kecelakaan

Hewan Cacat Karena Kecelakaan

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Ustadz, ana mau bertanya.
ketika hari kurban, ada orang mau kurban kambing. Pada saat akan diturunkan dari mobil untuk disembelih, kambing itu terjepit kemudian jatuh sehingga jadi pincang. Apakah masih boleh dikurbankan?
Syukron..

Abu Ahmad Jogja

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam

Jika kecelakaan yang terjadi pada hewan ini di luar kesengajaan pemilik dan bukan karena keteledoran pemilik, maka boleh untuk disembelih dengan niat kurban dan dihukumi sebagai kurban yang sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika seseorang telah menentukan hewan yang sehat dan bebas dari cacat untuk kurban, kemudian mengalami cacat yang seharusnya tidak boleh untuk dikurbankan, maka dia boleh menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Keterangan ini merupakan pendapat Atha’, Hasan Al-Bashri, An-Nakha’i, Az-Zuhri, At-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahuyah.” (Al-Mughni, 13:373).

Dalil yang menunjukkan bolehnya hal ini adalah sebuah riwayat yang disebutkan Al-Baihaqi, dari Ibnu Zubair radliallahu ‘anhu, bahwa hewan kurban berupa unta yang buta sebelah didatangkan kepadanya. Kemudian ia mengatakan, “Jika hewan ini mengalami cacat matanya setelah kalian membelinya maka lanjutkan berkurban dengan hewan ini. Namun jika cacat ini sudah ada sebelum kalian membelinya maka gantilah dengan hewan lain.” Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, “Sanad riwayat ini sahih.” (Al-Majmu’, 8:328).

Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan dalam Ahkam al-Udhiyah wa Dzakah, Hal. 10. Jika hewan yang hendak dijadikan kurban mengalami cacat, maka ada dua keadaan:
a. Cacat tersebut disebabkan perbuatan atau keteledoran pemiliknya maka wajib diganti dengan yang sama sifat dan ciri-cirinya atau yang lebih baik dari hewan tersebut. Selanjutnya, hewan yang cacat tadi menjadi miliknya dan dapat dia manfaatkan sesuai keinginannya.
b. Cacat tersebut bukan karena perbuatannya dan bukan karena keteledorannya, maka dia dibolehkan untuk menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Karena hewan ini adalah amanah yang dia pegang, sehingga ketika mengalami sesuatu yang di luar perbuatan dan keteledorannya maka tidak ada masalah dan tidak ada tanggungan untuk mengganti.

Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/39191

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsutasiSyariah.com

Doa Mustajab Abu Muslim

Doa Mustajab Abu Muslim

Dari Muhammad bin Syu’aib dan Said bin Abdil Aziz berkata, “Pada masa pemerintahan Mu’awiyah terjadi kemarau panjang. Mu’awiyah keluar untuk shalat Istisqa’ bersama masyarakat. Ketika mereka tiba di tempat yang akan digunakan untuk shalat Istisqa’, Mu’awiyah berkata kepada Abu Muslim, ‘Bukankah engkau mengetahui apa yang dikehendaki masyarakat ini??’

Abu Muslim menjawab, ‘Mungkinkah aku melakukannya sementara aku mempunyai banyak kekurangan.’

Kemudian beliau bangkit, di atas kepalanya beliau memakai sejenis tutup kepala. Lalu tutup kepala itu dibuka, selanjutnya beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya hanya kepadaMu-lah kami meminta hujan. Aku datang menghadapMu dengan segenap dosaku. Janganlah Engkau tolak permohonanku ini.’ Maka sebelum orang-orang beranjak pergi, hujan pun turun.

Abu Muslim bermunajat, ‘Ya Allah, sesungguhnya Mu’awiyah telah mengangkatku ke posisi yang sarat dengan sum’ah (perbuatan yang dilakukan dengan maksud agar orang lain mendengar/ tahu, pent.). Sekiranya terdapat satu kebaikan pada diriku, maka terimalah aku di sisimu (wafatkanlah aku).”

Peristiwa itu terjadi pada hari kamis. Dan pada hari kamis berikutnya Abu muslim meninggal dunia.” (Az-Zuhd, karya Ahmad, hal 392.)

Sumber: 99 Orang Shalih / alsofwah.or.id
Artikel www.KisahMuslim.com

Shalat Dhuha

Shalat Dhuha

Shalat Dhuha

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan ibadah shalat wajib yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

[arabic-font]إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ[/arabic-font]

“Sungguh, amalan hamba yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila shalat wajibnya kurang sedikit, maka Rabb ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu’ (shalat sunnah)!’ Lalu, dengannya disempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajibnya tersebut, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian.” (Hr. at-Tirmidzi)

Di antara perkara yang disyariatkan adalah shalat dhuha.

Keutamaan Shalat Dhuha

Shalat dhuha memiliki banyak keutamaan, di antaranya:

Keutamaan pertama, mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu tiga ratus enam puluh persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

[arabic-font]عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى[/arabic-font]

Dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda, “Setiap hari bagi setiap persendian dari salah seorang di antara kalian terdapat kewajiban untuk bersedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf nahi munkar adalah sedekah. Semua itu tercukupkan dengan dua rakaat shalat yang dilakukan di waktu dhuha.” (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Shalat ad-Dhuha, no. 720)

Hal ini lebih diperjelas dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

[arabic-font]فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ[/arabic-font]

“‘Dalam diri manusia ada tiga ratus enam puluh persendian, lalu dari setiap sendinya diwajibkan untuk bersedekah.’ Mereka berkata, ‘Siapa yang mampu demikian, wahai Nabi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Memendam riak yang ada di mesjid dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalan. Apabila tidak mendapatkannya, maka dua rakaat shalat dhuha mencukupkanmu.'” (Hr. Abu Daud, no. 5242; dinilai shahih oleh al-Albani dalam kitab Irwa al-Ghalil: 2/213 dan at-Ta’liq ar-Raghib: 1/235)

Keutamaan kedua, Allah menjaga orang yang melaksanakan empat rakaat shalat dhuha pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

[arabic-font]عن عقبة بن عامر الجهني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن الله عز و جل يقول يا ابن آدم اكفني أول النهار بأربع ركعات أكفك بهن آخر يومك[/arabic-font]

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman, Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku di awal siang hari sebanyak empat rakaat, niscaya Aku menjagamu di sisa hari tersebut.” (Hr. at-Tirmidzi, Kitab Shalat, Bab Ma Ja`a fi Shalat ad-Dhuha, no. 475; Abu Isa berkata, “Hadits hasan gharib;” hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi, sert al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi: 1/147)

Keutamaan ketiga, shalat dhuha adalah shalat al-awwabin (orang yang banyak bertaubat kepada Allah). Hal ini disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,

[arabic-font]لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ[/arabic-font]

“Tidaklah menjaga shalat dhuha, kecuali orang yang banyak bertaubat kepada Allah.” (Hr. al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/314; dinilai sebagai hadits hasan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1994, lihat: 2/324)

Hukum Shalat Dhuha [ref]Disarikan dari asy-Syarhu al-Mumti’: 4/115-117, Shahih al-Fiqh as-Sunnah: 1/422-424, dan Zad al-Ma’ad: 1/318-348.[/ref]

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat dhuha dalam beberapa pendapat, yaitu:

Pendapat pertama, hukum shalat dhuha adalah sunnah mutlak dan disunnahkan untuk melakukannya setiap hari. Inilah mazhab mayoritas ulama. Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan shalat dhuha.
2. Hadits Abu Hurairah radhiyalahu ‘anhu yang berbunyi,

[arabic-font]أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ[/arabic-font]

“Kekasihku shallalahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku dengan tiga hal: berpuasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat dhuha, dan witir sebelum tidur.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa shalat al-Dhuha adalah sunnah mutlak yang dilakukan setiap hari. [ref]Asy-Syarhu al-Mumti’: 4/116.[/ref]

3. Hadits Mu’adzah al-‘Adawiyah ketika menanyakan sebuah pertanyaan kepada ‘Aisyah,

[arabic-font]كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ[/arabic-font]

“Berapa rakaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melaksanakan shalat dhuha?” Beliau menjawab, “Empat rakaat, dan beliau menambahnya sebanyak yang beliau inginkan.” (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbaab Shalat Dhuha, no. 719)

Pendapat kedua, hukum shalat dhuha adalah sunnah namun tidak dilakukan setiap hari. Inilah pendapat Mazhab Hambali.

Pendapat ketiga, hukumnya bukan sunnah. Inilah pendapat Ibnu Umar.

Pendapat keempat, shalat dhuha hanya disunnahkan karena sebab tertentu. Inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Beliau menyatakan, “Barangsiapa yang menelaah hadits-hadits marfu’ dan atsar sahabat tentu mendapatkan bahwa mereka hanya menunjukkan pendapat ini. Adapun hadits-hadits anjuran dan wasiat untuk melakukannya, maka yang shahih darinya, seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, tidak menunjukkan bahwa shalat dhuha adalah sunnah yang terus dikerjakan untuk setiap orang.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiati Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan wasiat tersebut, karena telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah dahulu memilih belajar hadits di malam hari dibandingkan melaksanakan shalat. Kemudian, beliau memerintahkan Abu Hurairah untuk melakukan shalat sunnah diwaktu dhuha sebagai ganti shalat malamnya. Oleh karena itu, Abu Hurairah diperintahkan untuk tidak tidur kecuali setelah berwitir, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada Abu Bakar, Umar, dan seluruh sahabat lainnya.” [ref]Zad al-Ma’ad: 1/346.[/ref]

Sedangkan Ibnu Taimiyah, setelah menjelaskan sunnahnya shalat dhuha, menyatakan, “Tinggal masalah apakah yang utama adalah melakukannya secara berkesinambungan atau tidak, karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ini yang menjadi perselisihan para ulama. Yang rajih adalah bahwa barangsiapa yang terus-menerus melakukan shalat malam, maka itu mencukupkannya dari melakukan shalat dhuha terus-menerus, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu demikian. Barangsiapa yang tidak melakukan shalat malam, maka shalat dhuha menjadi pengganti shalat malam baginya.” [ref]Majmu’ Fatawa: 22/284.[/ref]

Yang rajih, insya Allah adalah pendapat pertama, karena keumuman anjuran melakukan shalat al-dhuha Hal inilah yang dirajihkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau menyatakan, “Yang rajih adalah (bahwa shalat dhuha) adalah sunnah mutlak yang terus-menerus dilakukan. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

[arabic-font]يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ[/arabic-font]

“Setiap persendian dari salah seorang kalian wajib untuk bersedekah setiap hari.”

Para ulama menjelaskan bahwa persendian manusia berjumlah tiga ratus enam puluh persendian dalam tubuh, sehingga setiap orang harus bersedekah tiga ratus enam puluh sedekah per hari. Namun, sedekah ini bukanlah sedekah harta, tapi berupa amalan taqarrub kepada Allah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

[arabic-font]فَفِي كُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى[/arabic-font]

‘Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah,amar makruf nahi munkar adalah sedekah. Semua itu tercukupkan dengan shalat dua rakaat yang dilakukan di waktu dhuha.’

Berdasarkan hadits ini, kami berpendapat bahwa shalat dhuha adalah sunnah yang selalu dikerjakan, karena kebanyakan manusia tidak mampu memberikan sedekah hingga tiga ratus enam puluh sedekah.” [ref]Asy-Syarhu al-Mumti’: 4/117.[/ref] Wallahu a’lam.

Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Waktu shalat dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawal). Syekh Ibnu Utsaimin merinci waktu ini ketika menjelaskan awal dan akhir waktu dhuha. Beliau menyatakan bahwa waktu dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar semeter. Dalam hitungan jam yang ma’ruf adalah sekitar 12 menit (setelah terbitnyamatahari) dan jadikan saja sekitar seperempat jam, karena lebih hati-hati.

Apabila telah berlalu seperempat jam dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan telah masuklah waktu shalat dhuha. Sedangkan akhir waktunya adalah sekitar sepuluh menit sebelum tergelincirnya matahari.” [ref]Lihat: asy-Syarhu al-Mumti’: 4/122–123.[/ref]

Adapun dasar awal waktu dhuha adalah hadits Abu Dzar yang berbunyi,

[arabic-font]عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ[/arabic-font]

Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Allah berfirman, “Wahai Bani Adam, shalatlah empat rakaat untuk-Ku di awal siang hari, niscaya aku menjagamu di sisa hari tersebut.”

Waktu dhuha berakhir dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu zuhur. Adapun jeda sebelumnya diberlakukan karena adanya larangan shalat sebelum tergelincirnya matahari.

Oleh karena itu, Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Kalau begitu, waktu shalat dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan (untuk shalat) di awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan di tengah hari.” [ref]Syarhu al-Mumti’: 4/123.[/ref]

Waktu Utama Shalat Dhuha

Adapun waktu utama untuk melaksanakan shalat dhuha adalah di akhir waktunya. Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Melaksanakannya di akhir waktu adalah lebih utama.” [ref]Ibid.[/ref]
Hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

[arabic-font]أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ[/arabic-font]

“Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum melakukan shalat dhuha, lalu beliau berkata, ‘Apakah mereka belum mengetahui bahwa shalat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu bersabda, ‘Shalat al-awwabin (hendaklah dilakukan) ketika anak unta kepanasan.'” (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Shalat al-Awwabina hina Tarmidhu al-Fishal, no. 748)

Jumlah Rakaat dan Tata Caranya

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk melakukan shalat dhuha sebanyak dua, empat , enam, atau delapan rakaat, atau lebih, tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin dalam pernyataan beliau, “Yang benar adalah bahwasanya tidak ada batas untuk banyaknya, karena ‘Aisyah berkata,

[arabic-font]كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله[/arabic-font]

‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, dan beliau menambahnya sebanyak yang beliau inginkan.’ (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbaab Shalat Dhuha, no. 719)

Jumlah rakaat shalat dhuha tidak ada pembatasannya. Seandainya seorang sholat dari terbit matahari setombak sampai menjelang tergelincir matahari, misalnya empat puluh rakaat, maka ini semua masuk dalam shalat dhuha.” [ref]Ibid: 4/119.[/ref]

Ini semua dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

[arabic-font]صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى[/arabic-font]

“Shalat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat.” (Hr. an-Nasa’i dalam Kitab Qiyam al-Lail wa Tathawu’ an-Nahar, Bab Kaifa Shalat al-Lail: 3/227, dan Ibnu Majah dalam Kitab Iqamat ash-Shalat wa as-Sunnah fiha, Bab Ma Ja`a fi Shalat al-Lail wa an-Nahar Matsna Matsna, no. 1322; diniai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 1/221)

Demikianlah beberapa hukum seputar shalat dhuha. Semoga bermanfaat.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

 

Syarah Hadits Arba’in #1

Syarah Hadits Arba’in #1

Diterjemahkan dari kitab Fathul Qowwiy Al Matiin fi Syarh Al Arba’iin wa tatimmah Al Khomsiin [arabic-font span=”yes”](فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين)[/arabic-font]

Karya Asy Syaikh Abdul Mushin ibn Hammad Al ‘Abbad Al Badr hafizhohullah

Hadits yang pertama

 

[arabic-font span=”yes”]

الحديث الأول

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب قال: سمعتُ رسول الله * يقول: (( إنَّما الأعمال بالنيَّات، وإنَّما لكلِّ امرئ ما نوى، فمَن كانت هجرتُه إلى الله ورسوله فهجرتُه إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يُصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه )).

رواه إمامَا المحدِّثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري، وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصحُّ الكتب المصنَّفة..

[/arabic-font]

 

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda:

((Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.))

Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain, Muslim bin Al

Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang.

[arabic-font]1 ـ أخرجه البخاري ومسلم وأصحاب السنن وغيرُهم، وقد تفرَّد بروايته عن عمر: علقمة بنُ وقاص الليثي، وتفرَّد به عنه محمد بن إبراهيم التيمي، وتفرَّد عنه يحيى بن سعيد الأنصاري، ثم كثر الآخذون عنه، فهو من غرائب صحيح البخاري، وهو فاتحته، ومثله في ذلك خاتمته، وهو حديث أبي هريرة (( كلمتان حبيبتان إلى الرحمن … )) الحديث، وهو أيضاً من غرائب الصحيح..[/arabic-font]

1. Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dan para pemilik kitab sunan, dan selain mereka. Dan periwayatan hadits ini menyendiri, dari Umar : Alqomah ibn Waqqosh Al Laitsiy, dan Muhammad ibn Ibrahim At Taimiy menyendiri pula  meriwayatkan darinya, dan Yayhya ibn Sa’iid Al Anshoriy menyendiri pula meriwayatkan darinya, kemudian setelah itu banyak perawi yang mengambil darinya. Hadits ini merupakan salah satu dari hadits ghorib dalam shahih Bukhari, hadits ini diletakkan beliau sebagai pembuka kitab shahihnya, dan hadits yang semisal juga beliau letakkan sebagai penutup kitab shahihnya, hadits itu adalah hadits Abu Hurairoh : ((Dua kalimat yang dicintai oleh Ar Rahman yang ringan di lisan dan berat di timbangan : Subhanallahil azhiim subhanallah wa bihamdih)), hadits ini juga termasuk dari hadits ghorib dalam shahih Bukhari.

[arabic-font]2 ـ افتتح النووي أحاديث الأربعين بهذا الحديث، وقد افتتح جماعة من أهل العلم كتبَهم به، منهم الإمام البخاري افتتح صحيحه به، وعبد الغني المقدسي افتتح كتابه عمدة الأحكام به، والبغوي افتتح كتابيه مصابيح السنة وشرح السنة به، وافتتح السيوطي كتابه الجامع الصغير به، وعقد النووي في أول كتابه المجموع شرح المهذب فصلاً قال فيه (1/35): (( فصل في الإخلاص والصدق وإحضار النية في جميع الأعمال البارزة والخفية ))، أورد فيه ثلاث آيات من القرآن، ثم حديث (( إنَّما الأعمال بالنيَّات ))، وقال: (( حديث صحيح متفق على صحته، ومجمع على عظم موقعه وجلالته، وهو إحدى قواعد الإيمان وأول دعائمه وآكد الأركان، قال الشافعي رحمه الله: يدخل هذا الحديث في سبعين باباً من الفقه، وقال أيضاً: هو ثلث العلم، وكذا قاله أيضاً غيرُه، وهو أحد الأحاديث التي عليها مدار الإسلام، وقد اختلف في عدِّها، فقيل: ثلاثة، وقيل: أربعة، وقيل: اثنان، وقيل: حديث، وقد جمعتها كلَّها في جزء الأربعين، فبلغت أربعين حديثاً، لا يستغني متديِّن عن معرفتها؛ لأنَّها كلَّها صحيحة، جامعة قواعد الإسلام، في الأصول والفروع والزهد والآداب ومكارم الأخلاق وغير ذلك، وإنَّما بدأت بهذا الحديث تأسيًّا بأئمَّتنا ومتقدِّمي أسلافنا من العلماء رضي الله عنهم،[/arabic-font]

2. Imam An Nawawi memulai hadits arbainnya dengan hadits ini, dan sejumlah ahli ilmu juga memulai di dalam kitab-kitab mereka dengan hadits ini, diantaranya Imam Al Bukhari dalam shahih-nya, Abdul Ghoniy Al Maqdisiy memulai kitabny Umdah Al Ahkam dengan hadits ini, Al Baghowi memulai kitabnya Mashoobiih As Sunnah dan Syarhus Sunnah dengan hadits ini, As Suyuthiy memulai kitabnya Al Jami’ Ash Shoghiir dengan hadits ini, dan An Nawawi dalam permulaan kitabnya Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab meletakkan sebuah pasal, dia mengatakan disana (1/35) : ((Pasal tentang keikhlasan dan kejujuran dan menghadirkan niat dalam semua amalan, baik yang nampak maupun tersembunyi)), dan dia menghadirkan disana tiga ayat dari Al Quran, kemudian dia meletakkan hadits : ((Hanyalah amal-amal tergantung dengan niatnya)), dan dia mengatakan : ((Hadits shahih disepakati atas keshahihannya, dan disepakati pula atas kedudukannya yang agung dan kemuliaannya, dan hadits ini adalah salah satu dari kaidah iman dan merupakan peyangganya yang pertama, dan yang memperkuat tiangnya, Asy Syafi’iy rahimahullah berkata : Hadits ini masuk dalam 70 bab fiqh, dan dia juga mengatakan : hadits ini merupakan sepertiga ilmu, dan begitu juga selain dari beliau mengatakan yang demikian. Hadits ini merupakan salah satu dari hadits yang merupakan inti islam, dan para ulama berselisih tentang jumlah hadits yang menjadi inti tersebut, dikatakan : 3, dikatakan : 4, dikatakan : 2, dan dikatakan : 1. Dan semua hadits itu saya kumpulkan dalam bagian arba’in, dan mencapailah 40 hadits, dan seorang yang alim haruslah memahaminya, karena itu semuanya adalah shahih, dan merupakan kumpulan kaidah-kaidah islam, baik di dalam ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), dan zuhud, adab-adab, dan akhlak mulia, dan yang selainnya, Dan saya hanya memulai hadits ini untuk mencontoh para imam kita yang terhadulu yang mendahului kita, semoga Allah meridhoi mereka.

 

[arabic-font]

وقد ابتدأ به إمام أهل الحديث بلا مدافعة أبو عبد الله البخاري صحيحه، ونقل جماعة أنَّ السلف كانوا يستحبُّون افتتاح الكتب بهذا الحديث؛ تنبيهاً للطالب على تصحيح النيَّة وإرادته وجه الله تعالى بجميع أعماله البارزة والخفيَّة، ورُوينا عن الإمام أبي سعيد عبد الرحمن بن مهدي ـ رحمه الله ـ قال: لو صنَّفت كتاباً بدأت في أوَّل كلِّ باب منه بهذا الحديث، ورُوينا عنه أيضاً قال: مَن أراد أن يصنِّف كتاباً فليبدأ بهذا الحديث، وقال الإمام أبو سليمان حمد بن محمد بن إبراهيم بن الخطاب الخطابي الشافعي الإمام في كتابه المعالم رحمه الله تعالى: كان المتقدِّمون من شيوخنا يستحبُّون تقديم حديث (الأعمال بالنيات) أمام كلِّ شيء يُنشأ ويُبتدأ من أمور الدِّين؛ لعموم الحاجة إليه في جميع أنواعها )).

وقال ابن رجب في جامع العلوم والحكم (1/61): (( واتَّفق العلماء على صحَّته وتلقيه بالقبول، وبه صدَّر البخاري كتابَه الصحيح، وأقامه مقام الخُطبة له؛ إشارة منه إلى أنَّ كلَّ عمل لا يُراد به وجه الله فهو باطل، لا ثمرة له في الدنيا ولا في الآخرة )).

[/arabic-font]

 

Dan Imam Ahli hadits yang tidak diperselisihkan kepakarannya yakni Al Bukhari memulai hadits ini dalam shahih-nya, dan beliau menukil bahwa sejumlah salaf senantiasa menyukai untuk memulai kitab-kitabnya dengan hadits ini, sebagai penjelasan kepada para penuntut ilmu untuk membenarkan niat, dan menghadirkannya untuk mencari ridho Allah ta’ala terhadap semua amal-amal, baik yang nampak maupun tersembunyi, dan diriwayatkan dari Imam Abu Sa’iid Abdurrahman ibn Mahdiy -rahimahullah- dia berkata : Seandainya aku menulis sebuah kitab maka aku akan mulai pada setiap permulaan bab tersebut dengan hadits ini, dan diriwayatkan darinya juga, dia berkata : Barang siapa yang hendak menulis sebuah kitab, maka hendaklah dia memulai dengan hadits ini, dan berkata Imam Abu Sulaiman Hammad ibn Muhammad ibn Ibrahiim ibn Al Khottob Al Khottobiy Asy Syafi’iy Al Imam dalam kitabnya Al Mu’aalim rahimahullah : Para ulama mutaqoddimin (terdahulu) dari syaikh-syaikh kami senantiasa menyukai untuk mendahulukan hadits (Innamal a’maalu binniyaat) di depan segala sesuatu untuk memulai dari urusan-urusan agama. hal itu dikarenakan kebutuhan atasnya pada semua macamnya.

Dan Imam ibn Rajab berkata dalam Jami’ Al Ulum wal Hikam (1/61) : ((Para ulama bersepakat atas keshahihannya dan bertemunya sanad dan penerimaan hadits ini, dan Al Bukhari memulai dengan hadits ini dalam kitabnya Ash Shahih, dan beliau menempatkan pada tempat pembukaan kitab, sebagai tanda bahwa setiap amal yang tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah maka amal tersebut bathil (rusak, batal), tidak ada buahnya di dunia (karena hanya menghasilkan lelah -pent) dan tidak pula di akhirat (karena tidak mendapat pahala -pent).))

 

[arabic-font]

3 ـ قال ابن رجب: (( وهذا الحديث أحد الأحاديث التي يدور الدِّين عليها، فروي عن الشافعي أنَّه قال: هذا الحديث ثلث العلم، ويدخل في سبعين باباً من الفقه، وعن الإمام أحمد قال: أصول الإسلام على ثلاثة أحاديث: حديث عمر (الأعمال بالنيات)، وحديث عائشة (من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد)، وحديث النعمان بن بشير: (الحلال بيِّن والحرام بيِّن) )).

وقال أيضاً (1/71) في توجيه كلام الإمام أحمد: (( فإنَّ الدِّين كلَّه يرجع إلى فعل المأمورات وترك المحظورات، والتوقف عن الشبهات، وهذا كلُّه تضمَّنه حديث النعمان بن بشير، وإنَّما يتمُّ ذلك بأمرين:

أحدهما: أن يكون العمل في ظاهره على موافقة السنَّة، وهذا هو الذي تضمَّنه حديث عائشة: (من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد).

والثاني: أن يكون العمل في باطنه يُقصد به وجه الله عزَّ وجلَّ، كما تضمَّنه حديث عمر: (الأعمال بالنيات).

وأورد بن رجب نقولاً (1/61 ـ 63) عن بعض العلماء في الأحاديث التي يدور عليها الإسلام، وأنَّ منهم من قال: إنَّها اثنان، ومنهم مَن قال: أربعة، ومنهم من قال: خمسة، والأحاديث التي ذكرها عنهم بالإضافة إلى الثلاثة الأولى حديث: (( إنَّ أحدكم يُجمع خلقُه في بطن أمِّه ))، وحديث: (( من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه ))، وحديث: (( إنَّ الله طيِّب لا يقبل إلاَّ طيِّباً ))، وحديث: (( لا يؤمن أحدكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه ))، وحديث: (( لا ضرر ولا ضرار ))، وحديث: (( إذا أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم ))، وحديث: (( ازهد في الدنيا يحبك الله، وازهد فيما عند الناس يحبك الناس ))، وحديث: (( الدِّين النصيحة )).)).

[/arabic-font]

 

3. Berkata ibn Rajab : ((Dan hadits ini merupakan salah satu hadits yang islam berputar-putar atasnya, diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’iy bahwa dia berkata : Hadits ini merupakan sepertiga ilmu, dan masuk kepada tujuh puluh bab tentang fiqih, dan dari Imam Ahmad, dia berkata : Dasar islam berdiri atas tiga hadits : hadits Umar (Amal-amal tergantung niat), dan hadits Aisyah (Barang siapa yang mengadakan yang baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dasar padanya maka amal tersebut tertolak), dan hadits An Nu’man ibn Basyir : (Segala yang halal telah jelas, dan yang haram juga telah jelas). Dan ibn Rajab berkata juga (1/71)

ketika menjelaskan perkataan Imam Ahmad : ((Karena sesungguhnya agama seluruhnya kembali kepada mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, dan berhenti terhadap perkara yang syubhat (samar), dan hal ini semuanya terkandung dalam hadits An Nu’man ibn Basyir, dan hanyalah menjadi sempurna hal tersebut dengan dua perkata, yang pertama : agar amal secara nampaknya mencocoki sunnah, dan hal ini yang dikandung dalam hadits Aisyah : (Barang siapa yang mengadakan yang baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dasar padanya maka amal tersebut tertolak). Dan yang kedua : agar amal secara bathin dimaksudkan untuk mencari wajah Allah Azza wa Jalla, sebagaimana terkandung dalam hadits Umar : (Amal-amal itu tergantung niatnya). Dan Ibnu Rajab mendatangkan nukilan dari sebagian ulama (1/61-63) pada hadits-hadits yang Islam berputar diatasnya, dan bahwasanya dari mereka ada yang mengatakan : Ada dua hadits, dan ada yang mengatakan : ada empat hadits, dan ada yang mengatakan : ada lima hadits, dan hadits-hadits yang disebutkan olehnya dari sebagian ulama sebagai tambahan dari tiga hadits yang pertama adalah : hadits ((Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya)), dan hadits : ((Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya)), dan hadits : ((Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.)), dan hadits : ((Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri)), dan hadits : ((Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan (diri sendiri dan orang lain)) dan hadits : ((Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian.)) dan hadits : ((Zuhudlah di dunia maka Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah dengan apa yang manusia miliki maka manusia akan mencintaimu)) dan hadits : ((Agama itu nasehat)).

[arabic-font]4 ـ قوله: (( إنَّما الأعمال بالنيَّات ))، (إنَّما): أداة حصر، و(الـ) في (الأعمال) قيل: إنَّها خاصة في القُرَب، وقيل: إنَّها للعموم في كلِّ عمل، فما كان منها قُربة أثيب عليه فاعله، وما كان منها من أمور العادات كالأكل والشرب والنوم فإنَّ صَاحبَه يُثاب عليه إذا نوى به التقوِّي على الطاعة، والألف واللاَّم بـ(النيات) بدلاً من الضمير (ها)، أي: الأعمال بنيَّاتها، ومتعلق الجار والمجرور محذوف تقديره معتبرة، أي: أنَّ الأعمال معتبرة بنيَّاتها، والنيَّة في اللغة: القصد، وتأتي للتمييز بين العبادات، كتمييز فرض عن فرض، أو فرض عن نفل، وتمييز العبادات عن العادات، كالغسل من الجنابة والغسل للتبرُّد والتنظُّف..[/arabic-font]

4. Sabda Nabi : (( Innamal a’maalu binniyyaat : Hanyalah amal-amal tergantung niat-niatnya)), Innama : Adaatul hashr (untuk pembatasan), dan Alif lam dalam Al A’maal dikatakan : Hal itu dikuhususkan untuk perbuatan pendekatan diri kepada Allah, dan dikatakan : Hal itu untuk hal yang umum pada setiap amal (baik ditunjukkan kepada Allah atau tidak -pent), Maka apa-apa yang termasuk pendekatan diri kepada Allah pelakunya diberi pahala atasnya, dan apa-apa yang termasuk urusan adat (kebiasaan manusia) seperti makan, minum, dan tidur, maka pelakunya diberi pahala atasnya jika meniatkan untuk menjadi kuat untuk melaksanakan ketaatan. Dan Alif Lam dalam kata An Niyyaat (النيات) merupakan badal (pengganti) dari dhomir (kata ganti orang/benda) Haa (ها), maksudnya Amal-amal tergantung dengan niat-niat amal tersebut, dan susunan Jar dan Majrur bergantung  pada sesuatu yang dihilangkan, yaitu mu’tabaroh (dianggap/diperhitungkan), maksudnya bahwasanya Amal-amal itu dipertimbangkan berdasarkan niat-niatnya. Dan niat secara bahasa adalah : Al Qoshdu (Maksud), dan hal itu datang untuk membedakan antar ibadah-ibadah, seperti membedakan antara yang wajib dengan yang wajib, atau yang wajib dengan yang sunnah, dan membedakan ibadah dengan adat seperti mandi janabah dan mandi untuk mendinginkan badan dan membersihkan badan.

 

[arabic-font]

5 ـ قوله: (( وإنَّما لكلِّ امرئ ما نوى ))، قال ابن رجب (1/65):

(((( إخبارٌ أنَّه لا يحصل له من عمله إلاَّ ما نواه، فإن نوى خيراً حصل له خير ٌ، وإن نوى شرًّا حصل له شرٌّ، وليس هذا تكريراً مَحضاً للجملة الأولى، فإنَّ الجملة الأولى دلَّت على أنَّ صلاحَ العمل وفسادَه بحسب النية المقتضية لإيجاده، والجملة الثانية دلَّت على أنَّ ثوابَ العامل على عمله بحسب نيَّتِه الصالحة، وأنَّ عقابه عليه بحسب نيَّته الفاسدة، وقد تكون نيَّتُه مباحةً فيكون العملُ مباحاً، فلا يحصل له به ثوابٌ ولا عقاب، فالعملُ في نفسه: صلاحه وفساده وإباحته بحسب النية الحاملة عليه المقتضية لوجوده، وثوابُ العامل وعقابُه وسلامته بحسب نيته التي بها صار العملُ صالحاً أو فاسداً أو مباحاً )).)).

[/arabic-font]

 

5. Sabda Nabi : ((Dan setiap orang hanya memperoleh apa yang dia niatkan)), berkata Ibnu Rajab (1/65) : Pengabaran bahwasanya tidak akan diperoleh dari amalnya kecuali dengan apa yang dia niatkan, jika dia berniat baik maka dia akan memperoleh kebaikan, dan jika dia meniatkan yang buruk maka dia akan memperoleh keburukan, dan hal ini bukan merupakan pengulangan murnia dari kalimat yang pertama, karena dalam kalimat yang pertama menunjukkan bahwa dengan baik dan jeleknya amal tergantung dari niat yang dikehendaki untuk melaksanakannya, dan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa pahala pelaku atas amalnya tergantung niatnya yang baik, dan dosa/siksa untuk pelaku tersebut tergantung dari niatnya yang buruk, dan terkadang bisa jadi niatnya untuk hal yang mubah (boleh) maka amalnya menjadi amal yang mubah, maka dia tidak mendapat pahala dan dosa atasnya, maka amal itu sendiri : baiknya dan buruknya, dan mubahnya tergantung niat yang dibawanya untuk melaksanakannya, dan pahala pelaku dan dosa/siksa dan keselamatan pelaku tergantung niatnya yang amal tersebut menjadi baik atau jelek atau mubah dengannya.))

[arabic-font]6 ـ قوله: (( فمَن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومَن كانت هجرته لدُنيا يُصيبها أو امرأة ينكحها فهجرتُه إلى ما هاجر إليه )).[/arabic-font]

6. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : ((Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah untuk Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang dia cari atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya kepada yang dia niatkan)).

[arabic-font]الهجرة من الهَجر وهو الترك، وتكون بترك بلد الخوف إلى بلد الأمن، كالهجرة من مكة إلى الحبشة، وتكون من بلاد الكفر إلى بلاد الإسلام، كالهجرة من مكة إلى المدينة، وقد انتهت الهجرة إليها بفتح مكة، والهجرة من بلاد الشرك إلى بلاد الإسلام باقية إلى قيام الساعة.[/arabic-font]

Hijrah berasal dari kata Al hajru maksudnya meninggalkan, dan hijrah bisa dilakukan dengan meninggalkan negeri yang tidak aman ke negeri yang aman, seperti hijrah dari Mekkah ke Habasyah, dan hijrah juga bisa dilakukan dengan meninggalkan negeri kafir ke negeri islam, seperti hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan hijrah dari Mekkah ke Madinah telah selesai setelah Fathul Makkah, sedangkan hijrah dari negeri kesyirikan ke negeri islam tetap ada sampai hari kiamat.

[arabic-font]وقوله: (( فمَن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله )) اتَّحد فيه الشرط والجزاء، والأصل اختلافهما، والمعنى: من كانت هجرته إلى الله ورسوله نيَّة وقصداً، فهجرته إلى الله ورسوله ثواباً وأجراً، فافترقا، قال ابن رجب (1/72): (( لَمَّا ذكر * أنَّ الأعمالَ بحسب النيَّات، وأنَّ حظَّ العامل من عمله نيته من خير أو شرٍّ، وهاتان كلمتان جامعتان وقاعدتان كليَّتان، لا يخرج عنهما شيء، ذكر بعد ذلك مثالاً من أمثال الأعمال التي صورتُها واحدة، ويختلف صلاحُها وفسادُها باختلاف النيَّات، وكأنَّه يقول: سائر الأعمال على حذو هذا المثال )).[/arabic-font]

Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : ((Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya)) syarat dan balasan disana menjadi satu, dan secara ashl nya adalah berpecah keduanya,  dan maknanya : Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya yaitu, niat dan tujuannya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dibalas dengan pahala, maka keduanya berbeda, berkata Ibn Rajab (1/72) : ((ketika menyebutkan bahwa amal-amal tergantung niat-niatnya, dan bahwa bagian pelaku dari amalnya adalah niatnya baik itu niat baik ataupun buruk, dan kedua hal itu adalah dua kata yang bergabung, dan dua kaidah yang menyeluruh. tidaklah sesuatu amalan keluar dari keduanya, dan setelah itu, Ibn Rajab menyebut permisalan dari permisalan amal-amal yang bentuknya satu, akan tetapi berbeda kadar baiknya dan buruknya dengan berbedanya niat-niat, seolah-olah dikatakan : Seluruh amal-amal adalah ada pada contoh dari contoh ini.))

 

[arabic-font]

وقال أيضاً (1/73): (( فأخبر النَّبيُّ * أنَّ هذه الهجرة تختلف باختلاف النيَّات والمقاصد بها، فمَن هاجر إلى دار الإسلام حبًّا لله ورسوله، ورغبةً في تعلم دين الإسلام وإظهار دينه حيث كان يعجز عنه في دار الشرك، فهذا هو المهاجرُ إلى الله ورسوله حقًّا، وكفاه شرَفاً وفخراً أنَّه حصل له ما نواه من هجرته إلى الله ورسوله، ولهذا المعنى اقتصر في جواب هذا الشرط على إعادته بلفظه؛ لأنَّ حصولَ ما نواه بهجرته نهايةُ المطلوب في الدنيا والآخرة.

 

[/arabic-font]

Dan ibnu Rajab berkata juga (1/73) : ((Maka Nabi mengabarkan bahwasanya hijrah ini menjadi berbeda dengan berbedanya niat-niat dan tujuan hijrah tersebut, maka barang siapa yang berhijrah kepada negeri islam karena cinta kepada Allah dan RasulNya, dan bersemangat untuk belajar agama islam dan menampakkan agamanya yang mana dia dahulunya lemah untuk menampakkannya di negeri kesyirikan, maka inilah yang dinamakan Muhajir (orang yang berhijrah) kepada Allah dan RasulNya yang benar,dan cukup baginya kemuliaan, dan kebanggaan bahwa dia memperoleh apa yang dia niatkan dari pahala hijrah kepada Allah dan RasulNya, oleh karena hal ini maknanya menjadi terbatas pada jawaban syarat ini atas pengulangan lafazh, hal ini dikarenakan diperolehanya apa yang dia niatkan dengan hasil yang dicari dengan hijrahnya baik di dunia maupun akhirat.))

[arabic-font]ومَن كانت هجرتُه من دار الشرك إلى دار الإسلام لطلب دنيا يُصيبها أو امرأة ينكحها في دار الإسلام، فهجرته إلى ما هاجر إليه من ذلك، فالأوَّل تاجرٌ، والثاني خاطب، وليس واحد منهما بمهاجر..[/arabic-font]

Dan Barang siapa yang hijrahnya dari negeri kesyirikan ke negeri islam untuk mencari dunia yang dia inginkan atau wanita yang ingin dia nikahi di negeri islam, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan terhadap hal tersebut. Maka yang pertama adalah seorang pedagang, dan yang kedua adalah Khoothib (orang yang ingin melamar wanita), dan keduanya bukan merupakan orang yang berhijrah.

[arabic-font]وفي قوله: (إلى ما هاجر إليه) تحقيرٌ لِمَا طلبه من أمر الدنيا واستهانة به، حيث لم يذكره بلفظه، وأيضاً فالهجرةُ إلى الله ورسوله واحدةٌ، فلا تعدُّدَ فيها، فلذلك أعاد الجوابَ فيها بلفظ الشرط، والهجرةُ لأمور الدنيا لا تَنحصر، فقد يهاجرُ الإنسانُ لطلب دنيا مباحة تارة ومحرَّمة أخرى، وأفراد ما يُقصد بالهجرة من أمور الدنيا لا تنحصر، فلذلك قال (فهجرته إلى ما هاجر إليه) يعني كائناً ما كان )).[/arabic-font]

Dan Sabda Nabi : ((kepada apa yang dia niatkan)) menunjukkan penghinaan terhadap apa yang dia cari dari perkara dunia dan kerendahan terhadapnya, walaupun tidak disebutkan dalam lafazhnya. Dan juga, perkara hijrah kepada Allah dan RasulNya adalah satu, maka tidak boleh untuk memisahkannya (membedakannya), oleh karena itu jawaban disana diulangi dengan lafazh syarat. Dan hijrah kepada urusan dunia tidaklah dibatasi, bisa jadi manusia berhijrah untuk mencari dunia yang mubah, dan bisa pula yang diharamkan, dan individu-individu dari apa yang dimaksud dengan hijrah dari urusan dunia tidak terbatas. oleh karena itu sabda nabi (maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan) maksudnya apa saja yang dia niatkan.

[arabic-font]7 ـ قال ابن رجب (1/74 ـ 75): (( وقد اشتهر أنَّ قصةَ مهاجر أمِّ قيس هي كانت سببَ قولِ النبَّيِّ *: (من كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها) وذكر ذلك كثيرٌ من المتأخرين في كُتُبهم، ولَم نرَ لذلك أصلاً بإسناد يَصحُّ، والله أعلم )).[/arabic-font]

7. Berkata Ibnu Rajab (1/74-75) : ((Dan telah masyhur bahwa kisah orang yang berhijrah yaitu Ummu Qoish adalah sebab dari sabda Nabi : (Barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang dia cari atau wanita yang ingin dia nikahi), dan banyak para ulama mutakhkhirin (akhir-akhir) yang menyebutkan hal tersebut dalam kitab-kitabnya, dan kami tidak melihat perkara ini dengan pendasaran yang bersanad shahih, Wallahu a’lam.))

[arabic-font]8 ـ النيَّة محلُّها القلب، والتلفُّظ بها بدعة، فلا يجوز التلفُّظ بالنيَّة في أيِّ قُربة من القُرَب، إلاَّ في الحجِّ والعمرة، فله أن يُسمِّي في تلبيته ما نواه من قران أو إفراد أو تمتُّع، فيقول: لبَّيك عمرة وحجًّا، أو لبَّيك حجًّا، أو لبَّيك عمرة؛ لثبوت السنَّة في ذلك دون غيره.[/arabic-font]

8. Niat tempatnya adalah hati, dan pengucapannya adalah bid’ah, maka tidak boleh untuk melafazhkannya dengan niat apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah (ibadah), kecuali dalam haji dan umrah, karena perkara tersebut dalam talbiyahnya mempunyai penamaan terhadap apa yang dia niatkan, yaitu qiran, atau ifrod atau tamattu’, maka dia mengatakan : Labbaika Umroh wa Hajjan, atau Labbaika Umrotan, karena adanya sunnah yang tetap akan hal tersebut dan bukan karena hal lain.

 

[arabic-font]

9 ـ مِمَّا يُستفاد من الحديث:

1 ـ أنَّه لا عمل إلاَّ بنيَّة.

2 ـ أنَّ الأعمال معتبرة بنيَّاتها.

3 ـ أنَّ ثواب العامل على عمله على حسب نيَّته.

4 ـ ضرب العالم الأمثال للتوضيح والبيان.

5 ـ فضل الهجرة لتمثيل النَّبيِّ * بها، وقد جاء في صحيح مسلم (192) عن عمرو بن العاص ، عن النَّبيِّ * قال: (( أمَا علمتَ أنَّ الإسلامَ يهدم ما كان قبله، وأنَّ الهجرةَ تهدم ما كان قبلها، وأنَّ الحجَّ يهدم ما كان قبله؟ )).

6 ـ أنَّ الإنسانَ يُؤجرُ أو يؤزر أو يُحرم بحسب نيَّته.

7 ـ أنَّ الأعمال بحسب ما تكون وسيلة له، فقد يكون الشيء المباح في الأصل يكون طاعةً إذا نوى به الإنسان خيراً، كالأكل والشرب إذا نوى به التقوِّي على العبادة.

8 ـ أنَّ العمل الواحد يكون لإنسان أجراً، ويكون لإنسان حرماناً.

[/arabic-font]

 

* * *

9. Faidah Hadits :

1.      Bahwa tidak ada amal kecuali dengan niat.

2.      Bahwa amal-amal itu diperhitungkan berdasar niat-niatnya.

3.      Bahwa pahala orang yang beramal atas amalnya tergantung niatnya.

4.      Orang ‘Alim (hendaknya) memberikan permisalan untuk memberikan penjelasan.

5.      Keutamaan hijrah karena Nabi memberikan permisalan dengannya, dan telah ada hadits dalam Shahih Muslim (192) dari ‘Amr ibn Al Ash, dari Nabi

shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda : ((Tidakkah engkau tahu bahwa islam itu meruntuhkan apa yang sebelumnya (menghapuskan dosa -pent), dan bahwa hijrah itu menghapuskan dosa sebelumnya, dan bahwa haji juga menghapuskan dosa sebelumnya?)).

6.      Bahwa manusia diberi pahala atau dosa atau diharamkan melakukan sesuatu tergantung niatnya.

7.      Bahwa amal-amal berdasar wasiilah (perantara) yang dia punyai, bisa menjadikan sesuatu yang mubah secara asalnya menjadi ketaatan jika dia manusia berniat untuk kebaikan, seperti makan dan minum jika diniatkan untuk menambah kekuatan untuk beribadah.

8.      Bahwa satu jenis amalan bisa jadi manusia mendapat pahala, dan bisa jadi mendapat dosa/tidak mendapat pahala.

Diterjemahkan oleh : Abou Saleemah