Syarah Hadits Arba’in #12

Syarah Hadits Arba’in #12

Diterjemahkan dari kitab Fathul Qowwiy Al Matiin fi Syarh Al Arba’iin wa tatimmah Al Khomsiin ([arabic-font span=”yes”]فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين[/arabic-font])

Karya Asy Syaikh Abdul Mushin ibn Hammad Al ‘Abbad Al Badr hafizhohullah

 

[arabic-font]

الحديث الثاني عشر

عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “مِن حُسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه” حديث حسن، رواه الترمذي وغيره هكذا.

[/arabic-font]

 

Hadits ke 12

Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu, dia berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Diantara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat unutknya” Hadits Hasan, HR Tirmizdi dan selainnya.

[arabic-font]1 معنى هذا الحديث أنَّ المسلمَ يترك ما لا يهمُّه من أمر الدِّين والدنيا في الأقوال والأفعال، ومفهومه أنَّه يجتهد فيما يعنيه في ذلك.[/arabic-font]

1. Maksud hadits ini adalah bahwasannya seorang muslim seharusnya meninggalkan perkara yang tidak penting baginya baik perkara dunia maupun perkara agama, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan, dan pemahaman hadits ini bahwa seorang muslim seharusnya berusaha keras pada perkara yang bermanfaat baginya.

[arabic-font]2 قال ابن رجب في جامع العلوم والحكم (1/288 289): “ومعنى هذا الحديث أنَّ مَن حَسُنَ إسلامُه ترك ما لا يعنيه من قول وفعل، واقتصر على ما يعنيه من الأقوال والأفعال، ومعنى (يعنيه) أنَّه تتعلق عنايته به، ويكون من مقصده ومطلوبه، والعناية شدَّة الاهتمام بالشيء، يُقال عناه يعنيه إذا اهتمَّ به وطلبه، وليس المراد أنَّه يترك ما لا عناية له ولا إرادة بحكم الهوى وطلب النفس، بل بحكم الشرع والإسلام، ولهذا جعله مِن حسن الإسلام، فإذا حَسُن إسلامُ المرء ترك ما لا يعنيه في الإسلام من الأقوال والأفعال، فإنَّ الإسلامَ يقتضي فعلَ الواجبات كما سبق ذكره في شرح حديث جبريل عليه السلام، وإنَّ الإسلامَ الكامل الممدوح يدخل فيه ترك المحرَّمات، كما قال صلى الله عليه وسلم: (المسلم مَن سلم المسلمون من لسانه ويده)، وإذا حسن الإسلام اقتضى ترك ما لا يعني كلَّه من المحرمات والمشتبهات والمكروهات وفضول المباحات التي لا يحتاج إليها، فإنَّ هذا كلَّه لا يعني المسلم إذا كمُل إسلامُه وبلغ إلى درجة الإحسان، وهو أن يعبد الله تعالى كأنَّه يراه، فإن لم يكن يراه فإن الله يراه، فمَن عبَدَ الله على استحضار قربه ومشاهدته بقلبه، أو على استحضار قرب الله منه واطلاعه عليه، فقد حسن إسلامه، ولزم من ذلك أن يترك كلَّ ما لا يعنيه في الإسلام، ويشتغل بما يعنيه فيه، فإنَّه يتولَّد من هذين المقامين الاستحياء من الله، وترك كلِّ ما يُستحيى منه“.[/arabic-font]

2. Berkata Ibn Rajab dalam kitabnya Jaami’ Al Uluum wal Hikam (289 1/288) : “Dan makna hadits ini bahwa barang siapa yang baik/bagus islamnya dia akan meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat unutknya baik itu perkataan maupun perbuatan, dan membatasi diri pada perkara yang bermanfaat untuknya baik itu perkataan ataupun perbuatan. Sedangkan makna ([arabic-font span=”yes”]يعنيه[/arabic-font]) Ya’niihi di hadits tersebut adalah perhatiannya tertuju padanya, dan hal tersebut menjadi maksud dan hal yang dia butuhkan. Dan Inaayah adalah perhatian yang sangat kuat terhadap sesuatu, dikatakan Anaahu ya’niihi jadi maksudnya adalah menjadi perhatian dengannya dan membutuhkannya, dan bukanlah maksudnya bahwa meninggalkan apa yang tidak menjadi perhatian baginya, dan bukan pula meninggalkan dengan kehendak hawa dan nafsu, akan tetapi meninggalkan berdasarkan syari’at islam, oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadikannya sebagai salah satu tanda kebaikan islamnya. Maka jika islamnya seseorang telah baik maka dia akan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dalam islam baik itu perkataan ataupun perbuatan, karena Islam menghendaki untuk melakukan perkara-perkara wajib sebagaimana telah lalu pembahsannya dalam hadits Jibril alaihis salaam. Dan karena Islam yang sempurna dan terpuji memerintahkan untuk meninggalkan perkara yang haram, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: (Seorang muslim adalah orang yang menyelematkan muslim yang lain dari gangguan lisannya dan tangannya), Jadi kebaikan islam menghendaki untuk meninggalkan apa yang tidak bermanfaat seluruhnya dari perkara haram, yang samar, perkara makruuh, berlebihan dalam perkara yang mubah (boleh) yang mana tidak dibutuhkan kepadanya. Karena itu semua merupakan perkara yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim jika islamnya telah sempurna dan sampai pada derajat ihsan, yaitu ihsan itu adalah beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihatnya, dan jika dia tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya Allah melihat dirinya.
Maka barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan menghadirkan pendekatan dan penglihatan hati atau menghadirkan pendekatan Allah darinya, dan melihat kepadanya maka telah baiklah islamnya, maka konsekuensi dari hal tersebut adalah dia akan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dalam islam, dan dia menjadi sibuk dengan perkara yang bermanfaat baginya, karena sesungguhnya hal tersebut lahir dari dua kedudukan ini, yaitu malu kepada Allah, dan meninggalkan setiap perkara yang membuatnya malu.

[arabic-font]3 مِمَّا يُستفاد من الحديث:
1 ترك الإنسان ما لا يعنيه في أمور الدِّين والدنيا.
2 اشتغال الإنسان بما يعنيه من أمور دينه ودنياه.
3 أنَّ في ترك ما لا يعنيه راحةً لنفسه وحفظاً لوقته وسلامة لعرضه.
4 تفاوت الناس في الإسلام
.[/arabic-font]
3. Faedah hadits :
1. Hendaknya seseorang meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat darinya baik itu perkara agama maupun dunia.
2. Hendaknya seseorang menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat untuknya baik itu perkara agama maupun dunia.
3. Bahwasannya dalam meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat untuknya akan melegakan jiwa dan menjaga waktunya serta akan memberikan kehormatan yang baik
4. Adanya perbedaan manusia dalam keislamannya.

Jin ‘Uzza

Jin ‘Uzza

[arabic-font]أَخْبَرَنَا عَلِي بْنِ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَثَنَا بْن فُضَيْلٍ قَالَ حَدَثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ جميعٍ عَنْ أَبِي الطُفَيْلِ قَالَ : لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَّ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نخَلْةَ ٍوَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلَاثِ سَمُرَاتٍ فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهَا ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ ارْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا فَرَجَعَ خَالِدٌ فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السدنة وَهُمْ حجبتها أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ يَا عُزَّى فَأَتَاهَا خَالِدٌ فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ ناَشِرَةُ شَعْرِهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا فَعَمَمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ تِلْكَ العُزَّى[/arabic-font]

Dari Abu Al-Thufail, beliau bercerita, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau mengutus Khalid bin al Walid ke daerah Nakhlah, tempat keberadaan berhala ‘Uzza. Akhirnya Khalid mendatangi ‘Uzza, dan ternyata ‘Uzza adalah tiga buah pohon Samurah. Khalid pun lantas menebang ketiga buah pohon tersebut. Ketiga buah pohon tersebut terletak di dalam sebuah rumah. Khalid pun menghancurkan bangunan rumah tersebut. Setelah itu Khalid menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkan apa yang telah dia kerjakan. Komentar Nabi, ‘Kembalilah karena engkau belum berbuat apa-apa.’ Akhirnya kembali. Tatkala para juru kunci ‘Uzza melihat kedatangan Khalid, mereka menatap ke arah gunung yang ada di dekat lokasi sambil berteriak, “Wahai ‘Uzza. Wahai ‘Uzza.” Khalid akhirnya mendatangi puncak gunung, ternyata ‘Uzza itu berbentuk perempuan telanjang yang mengurai rambutnya. Dia ketika itu sedang menuangkan debu ke atas kepalanya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Khalid pun menyabetkan pedang ke arah jin perempuan ‘Uzza sehingga berhasil membunuhnya. Setelah itu Khalid kembali menemui Nabi dan melaporkan apa yang telah dia kerjakan. Komentar Nabi, “Nah, itu baru ‘Uzza.” (HR. An-Nasa’I, Sunan Kubro no. 11547, jilid 6 hal. 474, terbitan Darul Kutub Ilmiyyah Beirut, cetakan pertama 1411 H.).

Banyak pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah di atas. Di antara bentuk dakwah adalah mengubah kemungkaran dengan tangan semisal dengan merusak simbol-simbol kemusyrikan dan paganisme. Kewenangan merusak tempat-tempat kemaksiatan dan kemusyrikan dengan senjata tajam adalah kewenangan penguasa yang memiliki otoritas dan kekuasan, bukan kewenangan rakyat sipil. Dalam kisah di atas kita jumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selaku penguasa menugasi Khalid bin Al-Walid untuk menghancurkan pusat kemaksiatan yang paling maksiat yaitu tempat kemusyrikan. Oleh karena itu, tindakan sebagian rakyat sipil yang kecemburuan dengan agamanya -namun sayang kurang terbimbing ajaran Islam yang benar- yang melakukan berbagai aksi kekerasan dengan senjata untuk menghancurkan berbagai tempat-tempat kemaksiatan adalah tindakan yang kurang tepat. Tentu tidaklah tepat menyamakan tindakan tersebut dengan tindakan Khalid bin Al-Walid di atas. Khalid memang mendapatkan mandat dan kewenangan dari penguasa –dalam hal ini adalah Nabi- untuk menghancurkan pusat kemaksiatan. Hal ini tentu berbeda dengan rakyat sipil.

Kisah di atas juga menunjukkan bahwa di antara tugas dan kewajiban seorang penguasa muslim adalah menghancurkan tempat dan pusat-pusat kemaksiatan, bukan malah melindunginya, terlebih lagi jika tempat tersebut adalah tempat kemaksiatan yang paling besar. Itulah kemusyrikan, sebuah dosa besar yang paling besar yang tidak akan Allah ampuni siapa saja yang mati dengan membawa dosa tersebut. Inilah di antara tugas dan kewajiban penguasa. Setiap penguasa muslim pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada hari Kiamat. Apakah anda telah melaksanakan tugas anda untuk menghancurkan tempat-tempat kemaksiatan dan pusat-pusat kemusyrikan ataukah anda malah melindungi dan melestarikan tempat-tempat tersebut. Jawaban apakah yang telah anda siapkan, wahai para penguasa. Moga Allah memberi kami dan anda taufik untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhai oleh-Nya.
Sungguh indah realita yang diceritakan oleh Imam Syafii,

[arabic-font]عَنْ طَاوُسٍ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبْنَى القُبُوْرُ أَوْ تُجصَصُ (قَالَ الشََّافِعِيُّ) وَقَدْ رَأَيْتُ مِن الْوُلَاةِ مَنْ يَهْدِمُ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيْهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يُعِيْبُوْنَ ذَلِكَ[/arabic-font]

“Dari Thawus, sesungguhnya Rasulullah melarang membuat bangunan di atas kubur dan melarang mengapur kubur. Imam Syafii mengatakan, “Sungguh aku melihat sebagian penguasa yang menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kubur di Mekah. Aku tidak melihat adanya ulama yang mencela tindakan para penguasa tersebut.” (Al-Ummu , Imam Syafii, jilid 1, hal. 316).
Kisah di atas menunjukkan bahwa setelah kaum muslimin memegang kekuasaan di suatu daerah dan penduduk daerah tersebut pun masuk Islam sebagaimana penduduk Mekah paska penaklukan kota Mekah, maka simbol-simbol kemusyrikan yang ada di daerah tersebut seharusnya dihancurkan, bukan malah dilestarikan dan dijadikan cagar budaya dengan alasan memelihara warisan nenek moyang agar anak cucu mengetahui dan masih bisa menyaksikan nilai peradaban leluhur kita. Dalam kisah di atas Nabi tidak melestarikan rumah ‘Uzza yang merupakan warisan nenek moyang Nabi sendiri namun Nabi malah memerintahkan untuk menghancurkannya dan meratakannya dengan tanah.

Kisah di atas menunjukkan bahwa jin itu bisa dibunuh oleh manusia dengan senjata tajam sebagaimana yang dilakukan oleh Khalid terhadap jin perempuan penunggu pohon ‘Uzza. Jika jin bisa terbunuh dengan pedang, apalagi jika dibunuh dengan menggunakan senjata api, pistol atau yang lainnya. Oleh karena itulah tidak benar pelajaran akidah yang diajarkan oleh televisi di negeri. Televisi mengajarkan bahwa jin adalah makhluk super sakti yang tidak bisa mati meski dengan AK 47 sekalipun. Ini adalah pelajaran akidah sesat yang diajarkan oleh televisi. Betapa banyak pemirsa yang menelan mentah-mentah akidah sesat ini. Sebuah akidah yang diajarkan oleh berbagai stasiun televisi di negeri kita.

Kisah di atas menunjukkan bahwa bentuk real dari ‘Uzza adalah pohon yang dikeramatkan. Bentuk mengeramatkannya adalah dengan membuat bangunan yang mengelilingi ketiga pohon keramat tersebut. Demikian pula, orang-orang Quraisy mengeramatkan dan memuja pohon tersebut dengan memberinya kelambu dan menghiasinya dengan berbagai tali dan kapas. (Fathul Majid li Syarh Kitab at Tauhid, jilid 1, hal 255-256).

Dengan demikian, tidaklah benar anggapan yang ada di benak banyak orang. Itulah anggapan bahwa ‘Uzza itu berbentuk patung. Oleh karena itu, berbagai pohon yang dipuja dan dikeramatkan oleh sebagian orang yang mengaku sebagai muslim pada hakikatnya adalah ‘Uzza-’Uzza zaman ini yang ada di sekeliling kita.

Kisah di atas menunjukkan bahwa adanya juru kunci untuk tempat-tempat yang dikeramatkan adalah sunah warisan jahiliah. Dalam kisah di atas termaktub bagi pohon keramat ‘Uzza itu memiliki beberapa juru kunci.
Seorang muslim yang baik seharusnya tidak memiliki rasa takut sedikit pun untuk menebang dan menghancurkan pohon keramat jika dia memiliki kekuasaan untuk menebang pohon keramat. Lihat bagaimana Khalid dengan gagah berani menebang dan menghancurkan pohon keramat ‘Uzza. Sehingga perasaan takut untuk menebang dan menghancurkan pohon kemusyrikan adalah suatu hal yang seharusnya tidak dimiliki oleh orang yang benar-benar beriman yang meneladani keimanan para sahabat. Allah pun telah mewajibkan kita dalam Al Quran untuk meneladani keimanan para sahabat Nabi radhiyallahu anhum. Kisah di atas adalah di antara contoh nyata keimanan para sahabat.

Adanya pohon yang dihuni oleh jin tertentu adalah suatu hal yang tidak kita ingkari sebagaimana ada jin perempuan yang menjadi penghuni pohon ‘Uzza. Namun tidak berarti kita memperlakukan secara khusus pohon semacam itu. Bahkan jika pohon tersebut pada akhirnya menjadi pohon sesembahan maka pohon tersebut seharusnya dihancurkan.

Sumber: Majalah Al-I’bar, Dinamika Dakwah, Edisi II (Disunting dan dipublikasikan ulang oleh redaksi www.KisahMuslim.com)

Artikel www.KisahMuslim.com

Syarah Hadits Arba’in #34

Syarah Hadits Arba’in #34

Diterjemahkan dari kitab Fathul Qowwiy Al Matiin fi Syarh Al Arba’iin wa tatimmah Al Khomsiin ([arabic-font span=”yes”]فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين[/arabic-font])

Karya Asy Syaikh Abdul Mushin ibn Hammad Al ‘Abbad Al Badr hafizhohullah

 

[arabic-font]

الحديث الرابع والثلاثون

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “مَن رأى منكم منكراً فليُغيِّره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعفُ الإيمان”رواه مسلم.

[/arabic-font]

 

Hadits ke 34

Dari Abu Sa’iid Al Khudriy radhiallahu anhu dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda : “Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, maka jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan hal itu merupakan selemah-lemah iman.” HR Muslim

[arabic-font]1 هذا الحديث مشتملٌ على درجات إنكار المنكر، وأنَّ مَن قدر على التغيير باليد تعيَّن عليه ذلك، وهذا يكون من السلطان ونوابه في الولايات العامة، ويكون أيضاً من صاحب البيت في أهل بيته في الولايات الخاصة، ورؤية المنكر يحتمل أن يكون المراد منها الرؤية البصرية، أو ما يشملها ويشمل الرؤية العلمية، فإذا لم يكن من أهل التغيير باليد، انتقل إلى التغيير باللسان، حيث يكون قادراً عليه، وإلاَّ فقد بقي عليه التغيير بالقلب، وهو أضعفُ الإيمان، وتغيير المنكر بالقلب يكون بكراهة المنكر وحصول الأثر على القلب بسبب ذلك، ولا تنافي بين ما جاء في هذا الحديث من الأمر بتغيير المنكر، وقول الله عزَّ وجلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ}، فإنَّ المعنى: إذا قمتم بما هو مطلوب منكم من الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، فقد أدَّيتم ما عليكم، ولايضرُّكم بعد ذلك ضلال مَن ضلَّ إذا اهتديتم، ولشيخنا الشيخ محمد الأمين الشنقيطي رحمه الله عند الكلام على هذه الآية في كتابه أضواء البيان تحقيقات جيِّدة في مسائل الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، من المناسب الرجوع إليها للاستفادة منها[/arabic-font]

1. Hadits ini mengandung tingkatan tentang cara mengingkari kemungkaran, dan bahwasanya barang siapa yang mampu untuk merubah dengan tangannya (kekuasaan) maka dia melakukannya dengan, dan hal ini biasa dilakukan oleh penguasa dan wakilnya dengan kekuasaannya secara umum, dan mengingkari dengan tangan juga dilakukan oleh pemilik rumah kepada keluarganya dengan kekuasaannya secara khusus, dan melihat kemungkaran membawa kemungkinan bahwa maksudnya adalah melihat dengan mata, atau apa-apa yang mencakup melihat secara pengetahuan, maka jika dia bukan termasuk orang yang mempunyai kemampuan merubah dengan tangan, dia merubahnya dengan menginkarinya dengan lisan yang mana dia mempunyai kemampuan atas hal tersebut, dan jika tidak maka tersisalah merubah hal itu dengan hati, dan hal itu merupakan selemah-lemah iman, dan merubah kemungkaran dengan hati dilakukan dengan cara membenci kemungkaran tersebut dan memberiakn pengaruh pada hati dengan sebab tersebut, dan tidaklah menafikan apa yang ada dalam hadits ini dengan perintah merubah kemungkaran. Allah ta’ala berfirman : {Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.} karena makna jika kalian menegakkan dengan apa yag dituntut terhadap kalian dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka kalian telah melaksanakan apa yang diwajibkan pada kalian, dan tidak akan memudhorotkan (membahayakan) kesesatan orang yang menyesatkan setelah hal itu jika kalian mendapat petunjuk. Dan Syaikh kami Muhammad Al Amiin Asy Syanqithiy rahimahullah mempunyai perkataan tentang ayat ini dalam kitabnya Adhwaaul Bayaan dengan komentar-komentar yang bagus tentang masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan merupakan hal yang baik untuk merujuk kepadanya untuk mengambil faedah tentang ayat tersebut.

[arabic-font]2 مِمَّا يُستفاد من الحديث:
1 وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وأنَّ به صلاح العباد والبلاد.
2 أن تغيير المنكر يكون على درجات، من قدر على شيء منها تعيَّن عليه ذلك.
3 التفاوت في الإيمان، وأنَّ منه القويّ والضعيف والأضعف
.[/arabic-font]

2. Faedah hadits :
1. Wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan bahwasannya dengan hal tersebut menjadi baiklah manusia dan negara.
2. Bahwa merubah kemungkaran mempunyai tingkatan-tingkatan, barang siapa yang mampu atas sesuatu dari hal tersebut maka dia melakukannya dengan hal itu.
3. Adanya perbedaan iman, dan bahwasannya ada yang kuat, lemah, dan paling lemah.

Tidak Dilalaikan dengan Urusan Dunia

Tidak Dilalaikan dengan Urusan Dunia

Muhammad bin Sirin[ref]Beliau adalah Imam besar dari generasi Tabi’in, sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam (wafat 110 H.), Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamal (25/344) dan Siyaru A’laamin Nubala’ (4/606).[/ref] adalah imam Ahlus sunnah yang sangat terkenal dalam berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Akan tetapi tahukah Anda bahwa beliau juga disifati oleh para ulama di jamannya sebagai orang yang sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan tekun dalam beribadah.

Imam adz-Dzahabi menukil dari Abu ‘Awanah Al-Yasykuri, beliau berkata, “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah[ref]
Kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (4/610).[/ref].”

Subhanallah, betapa mulianya sifat imam besar ini. Betapa tekunnya beliau dalam beribadah dan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga sewaktu berada di pasar dan sedang berjual-belipun hal tersebut tampak pada diri beliau.

Bukankah wajar kalau orang yang sedang beribadah di masjid kemudian orang yang melihatnya mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala? Tapi seorang yang sedang berjual-beli di pasar dengan segala kesibukannya, akan tetapi sikap dan tingkah lakunya bisa mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah ini menunjukkan bahwa orang-orang yang shalih selalu menyibukkan diri dengan berzikir dan beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan?

Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Wali-wali (kekasih) Allah adalah orang-orang yang jika mereka dipandang maka akan mengingatkan kepada Allah[ref]HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabiir (no. 12325), Dhiya’uddin Al-Maqdisi dalam Al-Ahaaditsul Mukhtaarah (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1733) karena diriwayatkan dari berbagai jalur yang saling menguatkan.[/ref].”

Teladan kita berikutnya adalah imam Ibrahim bin Maimun Ash-Sha-igh, seorang imam Ahlus sunnah dari generasi Atba’ut Tabi’in. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menukil dalam biografi beliau bahwa pekerjaan beliau adalah tukang menempa logam, tetapi jika beliau telah mendengarkan seruan azan shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tidak mampu untuk mengayunkan palu tersebut dan beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat[ref]Lihat kitab Tahdziibut Tahdziib (1/150).[/ref]

Lihatlah betapa besar ketakutan dan pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam hati orang-orang yang bertakwa sehingga kesibukan apapun yang mereka kerjakan sama sekali tidak melalaikan mereka dari memenuhi panggilan untuk beribadah kepada-Nya.

Maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman,

[arabic-font]{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}[/arabic-font]

Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” (QS. Al-Hajj: 32).

Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari dua kisah di atas:

– Orang mukmin yang bertakwa adalah orang yang tidak disibukkan dengan urusan dan kesibukan dunia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, inilah yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

[arabic-font]{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}[/arabic-font]

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 37).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi[ref]Kitab Tafsir Ibnu Katsir, (3/390).[/ref].”

– Tempat bekerja dan berjual-beli sangat berpotensi untuk melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka menyebut dan mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala di tempat-tempat tersebut sangat besar keutamaannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Ath-Thiibi berkata, “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah (ketika berada) di pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang keutamaan mereka (dalam ayat di atas)[ref]Dinukil oleh Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, (9/273).[/ref].”

– Mengambil contoh teladan dari kisah-kisah para ulama salaf adalah termasuk sebaik-baik cara untuk memotivasi diri sendiri guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang berupa kisah nyata, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[ref]Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).[/ref].

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam,

[arabic-font]{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}[/arabic-font]

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud: 120).

Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)[ref]Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595)[/ref].”

[arabic-font]وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين[/arabic-font]

Kota Kendari, 1 Rabi’ul akhir 1432 H.

Penulis: Abdullah bin Taslim Al-Buthani, M.A.
Artikel www.Pengusahamuslim.com

Syarah Hadits Arba’in #31

Syarah Hadits Arba’in #31

Diterjemahkan dari kitab Fathul Qowwiy Al Matiin fi Syarh Al Arba’iin wa tatimmah Al Khomsiin [arabic-font span=”yes”](فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين)[/arabic-font]

Karya Asy Syaikh Abdul Mushin ibn Hammad Al ‘Abbad Al Badr hafizhohullah

 

[arabic-font]

الحديث الواحد والثلاثون

عن أبي العباس سَهل بن سَعْد الساعدي رضي الله عنه قال: “جاء رجلٌ إلى النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله! دُلَّني على عمل إذا عملته أحبَّني الله وأحبَّني الناسُ، فقال: “ازهد في الدنيا يُحبّك الله، وازهد فيما عند الناس يُحبّك الناس” حديث حسن، رواه ابن ماجه وغيره بأسانيد حسنة.

[/arabic-font]

 

Hadits ke 31

Dari Abul Abbaas Sahl ibn Sa’d As Saa’idiy radhiallahu ‘anhu, dia berkata : Datang seorang lak-laki kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka dia mengatakan : Wahai Rasulullah! Tunjukkan padaku sebuah amal yang jika aku melakukannya maka Allah akan mencintaiku dan manusia akan mencintaiku, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Zuhudlah engkau terhadap dunia maka Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah engkau terhadap apa yang dimiliki manusia maka manusia akan mencintaimu.” Hadits Hasan diriwayatkan oleh ibn Majah dan selainnya dengan sanad hasan.

[arabic-font]1 أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم أحرصُ الناس على كلِّ خير، وأسبقُ الناس إلى كلِّ خير، وقد حرص هذا الصحابيُّ على معرفة ما يجلبُ له محبَّةَ الله ومحبَّة الناس، فسأل النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم هذا السؤال.[/arabic-font]

1. Para sahabat adalah orang yang paling semangat terhadap semua kebaikan, dan yang paling mendahului terhadap semua kebaikan, dan sahabat ini (yang bertanya -pent) sangat bersemangat untuk mengetahui perkara yang dapat membuat Allah dan manusia mencintainya, maka dia bertanya pada Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan pertanyaan tersebut.

[arabic-font]2 قوله: “ازهد في الدنيا يُحبّك الله”، بيَّن صلى الله عليه وسلم أنَّ محبَّة الله عزَّ وجلَّ تُحصَّلُ بالزهد في الدنيا، وأحسن ما قيل في بيان المراد بالزهد في الدنيا ترك الإنسان كلَّ ما يشغله عن الله، كما نقله الحافظ ابن رجب في شرحه جامع العلوم الحكم (2/186) عن أبي سليمان الداراني، فقال: “وقال أبو سليمان الداراني: اختلفوا علينا في الزهد بالعراق، فمنهم مَن قال: الزهد في ترك لقاء الناس، ومنهم مَن قال: في ترك الشهوات، ومنهم مَن قال: في ترك الشِّبع، وكلامهم قريب بعضُه من بعض، قال: وأنا أذهب إلى أنَّ الزهدَ في ترك ما يشغلك عن الله عزَّ وجلَّ. وهذا الذي قاله أبو سليمان حسن؛ وهو يجمع جميع معاني الزهد وأقسامه وأنواعه“.[/arabic-font]

2. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : “Zuhudlah kamu kepada dunia maka Allah akan mencintaimu“, Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa kecintaan Allah Azza wa Jalla didapatkan dengan zuhud terhadap dunia, dan pengertian paling bagus untuk menjelaskan maksud dari zuhud terhadap dunia yaitu untuk seorang manusia meninggalkan setiap perkara yang menyibukkannya dari Allah, sebagaimana Al Hafizh ibn Rajab menukilkan dalam syarahnya Jami’ Al Uluum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaimaan Ad Daaraaniy, dia mengatakan : “telah berkata Abu Sulaiman Ad Daaraaniy : Para ulama berselisih tentang makna zuhud, sebagian mengatakan : Zuhud adalah meninggalkan bertemu dengan manusia, dan sebagian mengatakan : Zuhud adalah meninggalkan syahwat, dan sebagian lagi mengatakan : meninggalkan rasa kenyang. Dan perkataan mereka sebagiannya mendekati sebagian, Kemudian berkata : dan aku berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkanmu dari Allah Azza wa Jalla. Dan yang dikatakan Abu Sulaiman ini adalah pengertian yang bagus, dan pengertian tersebut mengumpulkan semua makna zuhud dan pembagian-pembagiannya.”

[arabic-font]3 قوله: “وازهد فيما عند الناس يُحبّك الناس”، الناسُ حريصون على المال والمتاع في الحياة الدنيا، والغالب عليهم إمساكُ ما في أيديهم وعدم الجود به، قال الله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْراً لأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}، ولا يُعجبهم مَن يطمع فيما عندهم أو يتطلَّع إليه، فإذا استغنى الإنسانُ عنهم نال إعجابهم وظفر بمحبَّتهم، وإذا ظفر بمحبَّتهم سلم من شرِّهم.[/arabic-font]

3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : “Dan Zuhudlah kepada apa yang dimiliki manusia maka manusia akan mencintaimu“. Manusia sangat bersemangat untuk mengumpulkan harta dan perbendaharaan di dunia, dan pada kebanyakan dari mereka senang untuk menahan apa yang mereka miliki dan tidak ingin berderma. Allah Ta’ala berfirman : {Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.} Mereka tidak terkesima dengan orang-orang yang memiliki banyak perbendaharaan dan mereka tidak melihat orang-orang tersebut, maka jika seorang manusia merasa cukup dari hal tersebut, dia akan mendapatkan kekaguman orang dan mendapatkan kecintaan mereka dan dia akan selamat dari kejahatan manusia.

[arabic-font]4 مِمَّا يُستفاد من الحديث:
1 حرص الصحابة على ما يجلب لهم محبَّة الله ومحبَّة الناس.
2 إثبات صفة المحبَّة لله عزَّ وجلَّ.
3 أنَّ الخيرَ للعبد في محبَّة الله إيَّاه.
4 أنَّ مِمَّا يجلب محبَّة الله الزهدَ في الدنيا.

5 أنَّ زهدَ المرء فيما في أيدي الناس سببٌ في محبَّتهم إيَّاه، فيحصِّل خيرَهم ويسلم من شرِّهم.[/arabic-font]

4. Faedah Hadits :
1. Semangat para sahabat atas perkara yang dengannya akan mendapat kecintaan Allah dan kecintaan manusia.
2. Penetapan sifat Mahabbah (Cinta ) pada Allah Azza wa Jalla
3. Bahwasannya kebaikan bagi seorang hamba adalah pada kecintaan Allah kepadanya.
4. Bahwa diantara perkara yang dapat memberikan kecintaan Allah adalah zuhud terhadap dunia.
5. Bahwa zuhudnya seseorang pada apa yang dimiliki manusia menjadi sebab kecintaan manusia kepadanya, dan dia akan mendapatkan kebaikan mereka dan selamat dari keburukan mereka.