Puasa di Bulan Rajab?

Puasa di Bulan Rajab?

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shobihi ajma’in.

Sebagian orang sempat menganjurkan bahwa banyaklah puasa pada bulan Rajab. Ada pula yang menganjurkan untuk berpuasa di awal-awal bulan Rajab. Apakah betul anjuran seperti ini ada dasarnya? Silakan ditelusuri dalam pembahasan singkat berikut ini. Semoga bermanfaat.

Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka ia menjawab : Aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpuasa sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa seluruh bulan. Namun suatu saat beliau tidak berpuasa sampai kami berkata : Nampaknya beliau tidak akan puasa sebulan penuh.” (HR. Muslim dalam kitab Ash Shiyam. An Nawawi membawaknnya dalam Bab Puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di selain bulan ramadhan)

Sebagian orang agak sedikit bingung dalam menyikapi hadits di atas, apakah di bulan Rajab harus berpuasa sebulan penuh ataukah seperti apa?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ’Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ’Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

[arabic-font]لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ[/arabic-font]

Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.”

Imam Asy Syafi’i mengatakan, ”Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.”

Beliau berdalil dengan hadits ’Aisyah yaitu ’Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut.

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib yaitu amalan puasa Ramadhan).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Kesimpulan: Tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.

Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.

Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com sekalian. Semoga Allah selalu memberkahi kita di bulan Rajab ini.

Nantikan penjelasan selanjutnya mengenai perayaan Isro’ Mi’roj. Semoga Allah mudahkan.

 

Artikel dari  www.rumaysho.com

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Bukan Orang Yang Gemar Bersenang-Senang

Bukan Orang Yang Gemar Bersenang-Senang

[arabic-font]عن معاذ ابن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعث به إلى اليمن قال له إياك والتنعم فإن عباد الله ليسوا بالمتنعمين[/arabic-font]

Dari Mu’adz bin Jabal, ketika ia diutus ke Yaman, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berpesan kepadanya: “Tinggalkanlah sifat gemar bersenang-senang (at tana’um). Karena hamba Allah yang sejati bukanlah orang yang gemar bersenang-senang” (HR. Ahmad 5/243, 244, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin 279, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 5/155)

Derajat Hadits

Al Mundziri berkata: “Semuanya perawi yang dipakai Imam Ahmad dan semuanya tsiqah” (At Targhib Wat Tarhib, 3/170). Al Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah” (Majma’ Az Zawaid, 10/253). Penilaian beliau berdua diamini oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (1/688).

Faidah Hadits

  1. Tercelanya sifat at tana’um, yaitu gemar bersenang-senang dan gemar bernikmat-nikmat dengan hal-hal yang sifatnya duniawi.
  2. Ali Al Qari rahimahullah  berkata: “at tana’um adalah berlebihan dalam memuaskan nafsu dalam bentuk selalu berkeinginan merasakan nikmat secara berlebihan, serta selalu merasa tidak pernah puas” (Mirqatul Mafatih, 8/3295).
  3. At tana’um  adalah lawan dari zuhud.
  4. Bukan berarti bersenang-senang itu terlarang, namun yang demikian bukan lah hal yang selalu dicari dan dikerjakan seorang hamba Allah sejati.
  5. Ali Al Qari rahimahullah  menjelaskan hadits ini berkata: “Sesungguhnya hamba Allah yang ikhlas bukanlah orang yang gemar bersenang-senang. Bahkan sifat demikian adalah ciri khas orang kafir, para penggemar maksiat, orang yang lalai dan orang yang jahil. Sebagaimana firman Allah :[arabic-font span=”yes”]ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ[/arabic-font] يَعْلَمُونَ‘Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)‘ (QS. Al Hijr: 3)
    dan juga firman-Nya:[arabic-font]وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ[/arabic-font]‘Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka‘ (QS. Muhammad: 12),
    juga firman-Nya:

    [arabic-font]إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ[/arabic-font]

    Sesungguhnya mereka (penghuni neraka) sebelum itu hidup bermewahan‘ (QS. Al Waqi’ah: 45)” (Mirqatul Mafatih, 8/3295).

  6. Senada dengan beliau, Al Munawi rahimahullah juga berkata: “Sesungguhnya hamba Allah yaitu orang-orang tertentu yang berhiaskan dengan kemuliaan ubudiyah, bukanlah orang yang suka bersenang-senang. Karena bersenang-senang dengan hal yang mubah, walaupun itu boleh, akan membuat seseorang lalai mengingat Allah dan engga bertemu dengan-Nya” (At Taisir Syarh Jami’ Ash Shaghir, 1/402).
  7. Lihatlah Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, begitu zuhudnya sampai-sampai beliau memandang bahwa makan daging itu at tana’um. Suatu kala ketika membeli daging, beliau berkata: “Duhai kemana perginya kebaikan“. Lalu membaca ayat:[arabic-font span=”yes”]أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِى حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُم بِهَا[/arabic-font]“Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya” (QS. Al Ahqaf: 20)
    Ibnu Bathal berkata: “Umar Radhiallahu’anhu berdalil dengan ayat tersebut bahwa bersenang-senang di dunia dan  bernikmat-nikmat dengan segala kebaikan duniawi akan banyak mengurangi kebaikan akhirat” (Syarh Shahih Bukhari Libni Bathal, 10/157).
  8. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Ketahuilah ada 3 bahaya dari sikap gemar bersenang-senang”. Secara ringkas, 3 hal itu adalah:
    1. Dunia itu darut taklif (tempat manusia menjalankan tugas-tugas dari Allah) bukan darur raahah (tempat bersantai dan bersenang-senang). Jika seseorang disibukkan dengan bersenang-senang di dunia pasti ia kurang bisa memenuhi tugas-tugasnya.
    2. Bersenang-senang dalam hal makan yaitu terlalu banyak makan, membuat perut kekenyangan akibatnya malas dan akhirnya lalai.
    3. Barangsiapa yang sudah terkait hatinya dengan kesenangan dunia, akan sulit sekali melepasnya. (Kasyful Musykil, 1/92)
  9. Seorang hamba sejati itu sibuk dalam kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:[arabic-font span=”yes”]مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ[/arabic-font]“Salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi no. 2317, di hasan kan Al Nawawi dalam Al Arba’un).
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:[arabic-font]احرص على ما ينفعك واستعن بالله . ولا تعجز[/arabic-font]“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah, serta janganlah malas” (HR. Muslim no.2664)
  10. Seorang hamba sejati senantiasa sibuk dalam kebaikan sampai ajal menjemputnya. Mi’sar bin Kiddam rahimahullah berkata [arabic-font span=”yes”]لاَ تَقْعُدُوا فُراغًا فَإِنَّ اْلمَوْتَ يَطْلُبُكُمْ[/arabic-font]“Janganlah kalian duduk untuk bersantai-santai karena kematian sedang mencarimu” (Thabaqat Kubra Lis Sya’rani, 1/49).
    Seorang lelaki dari Khurasan datang untuk bertanya-tanya kepada Imam Ahmad rahimahullah :[arabic-font]قِيْلَ لِلإمَام أَحْمَدَ: مَتىَ يَجِدُ اْلعَبْدُ طَعْمَ الرَّاحَةِ ؟ فَقَالَ: عِنْدَ أّوَّلِ قَدَمٍ يَضَعُهاَ فِيْ اْلجَنَّةِ.[/arabic-font]Imam Ahmad ditanya: “Kapan seorang hamba itu beristirahat (dari sibuk berbuat kebaikan)?”. Imam Ahmad menjawab: “Ketika pertama kali telapak kakinya menginjak surga”. (Thabaqat Hanabilah, 1/293)

     

    artikel : http://kangaswad.wordpress.com/

Senang Mendengarkan Bacaan al-Qur’an

Senang Mendengarkan Bacaan al-Qur’an

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

[arabic-font]قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ» قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ ‍ أَقْرَأُ عَلَيْكَ؟ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ: «إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي» ، فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا} [سورة: النساء، آية رقم: 41] رَفَعْتُ رَأْسِي، أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ[/arabic-font]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah kepadaku al-Qur’an.” Ibnu Mas’ud berkata: Aku katakan, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan membacakannya kepadamu sementara ia diturunkan kepadamu?”. Beliau menjawab, “Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku.” Maka aku pun membacakan surat an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat [yang artinya], “Bagaimanakah jika [pada hari kiamat nanti] Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’: 41). Aku angkat kepalaku, atau ada seseorang dari samping yang memegangku sehingga aku pun mengangkat kepalaku, ternyata aku melihat air mata beliau mengalir (HR. Bukhari [4582] dan Muslim [800])

Hadits yang agung ini memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki rasa senang dan menikmati bacaan al-Qur’an yang dibacakan oleh orang lain. Oleh sebab itu Imam Bukhari juga mencantumkan hadits ini di bawah judul bab ‘Orang yang senang mendengarkan al-Qur’an dari selain dirinya’ (lihat Fath al-Bari [9/107]). an-Nawawi rahimahullah berkata,“Ada beberapa pelajaran dari hadits Ibnu Mas’ud ini, di antaranya; anjuran untuk mendengarkan bacaan [al-Qur’an] serta memperhatikannya dengan seksama, menangis ketika mendengarkannya, merenungi kandungannya. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya meminta orang lain untuk membacanya untuk didengarkan, dalam keadaan seperti ini akan lebih memungkinkan baginya dalam mendalami dan merenungkan isinya daripada apabila dia membacanya sendiri. Hadits ini juga menunjukkan sifat rendah hati seorang ulama dan pemilik kemuliaan meskipun bersama dengan para pengikutnya.” (al-Minhaj [4/117])

Hadits ini juga menunjukkan bahwa salah satu ciri orang soleh adalah bisa menangis ketika mendengar bacaan al-Qur’an. Imam Bukhari mencantumkan hadits ini di bawah judul bab ‘Menangis tatkala membaca al-Qur’an’ (lihat Fath al-Bari [9/112]). Lantas, apakah yang mendorong Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika mendengar ayat di atas? Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang tampak bagi saya, bahwasanya beliau [Nabi] menangis karena sayangnya kepada umatnya. Sebab beliau mengetahui bahwa kelak beliau pasti menjadi saksi atas amal mereka semua, sedangkan amal-amal mereka bisa jadi tidak lurus (amalan yang tidak baik) sehingga membuat mereka berhak untuk mendapatkan siksaan, Allahu a’lam.” (Fath al-Bari [9/114])

Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa menangis tatkala membaca al-Qur’an harus dilandasi dengan keikhlasan. Bukan karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Oleh sebab itu, Imam Bukhari mengiringi bab tadi [menangis tatkala membaca al-Qur’an] dengan bab ‘Dosa orang yang membaca al-Qur’an untuk mencari pujian (riya’), mencari makan, atau menyalah gunakannya untuk berbuat jahat/dosa’ (lihat Fath al-Bari[9/114]).

Dan yang lebih utama lagi adalah menangis tatkala sendirian. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, yang salah satunya adalah, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian lantas berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari [660] dan Muslim [1031]). an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan menangis karena takut kepada Allah ta’ala dan keutamaan amal ketaatan yang rahasia/tersembunyi karena kesempurnaan ikhlas padanya, Allahu a’lam.” (al-Minhaj [4/354])

Satu pelajaran lagi yang mungkin bisa ditambahkan di sini, adalah keutamaan belajar bahasa arab. Karena dengan memahami bahasa arab akan lebih memudahkan dalam menghayati kandungan al-Qur’an. Oleh sebab itu hendaknya kita lebih bersemangat lagi dalam mempelajari bahasa arab dan mengkaji tafsir al-Qur’an. Allahu a’lam.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id