Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.” (Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqahdan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.
Sumber: http://muslim.or.id/430-mari-mengenal-manhaj-salaf.html