by admin | Jul 19, 2017 | Fatwa Ulama, Pilihan
Fatwa Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah
Soal:
Bolehkah seseorang menafsirkan Al Qur’an tanpa ilmu dan tanpa merujuk pada keterangan para ulama? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.
Jawab:
Seseorang tidak boleh berbicara tentang hal yang tidak ia ketahui. Dan tidak boleh juga berbicara tentang ilmu agama padahal ia tidak memiliki ilmu. Ini merupakan kejahatan yang besar, dan berbahaya bagi orang yang melakukannya. Ini juga merupakan kejahatan terhadap kalam Allah, dan bahaya yang besar bagi orang yang melakukannya.
Maka, hendaknya orang-orang suka bermudah-mudah ini bertaqwa kepada Allah, dan jauhi berbicara mengenai kalamullah padahal ia tidak memiliki ilmu yang mencukupi yang membuat ia bisa menafsirkan dengan benar. Karena perbuatan ini merupakan penyimpangan dan kejahatan terhadap Allah dan terhadap agama Allah dan juga terhadap Rasul-Nya. Dan ini juga merupakan keburukan yang besar, sebagaimana sudah saya katakan.
Maka takutlah kepada Allah dengan tidak melakukan hal seperti ini, yang menyebabkan sebagian orang yang mengikutinya melakukan kebid’ahan, berdalil dengan ayat ini dan ayat itu, ayat ini menyuruh perbuatan ini dan itu, padahal bukan demikian maksud ayat tersebut dan dia bukan orang yang ahli dalam menafsirkan ayat Qur’an.
Ada riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau melewati seorang lelaki yang sedang mengajarkan orang-orang Al Qur’an. Beliau berkata:
أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟ قال : لا ، قال : هلكت وأهلكت
“Apakah engkau sudah paham nasikh dan mansukh? Lelaki tadi berkata: ‘Saya belum paham’. Ali berkata: ‘Sungguh engkau ini binasa dan membuat orang lain binasa’“
Demikian, hendaknya hal ini dipahami.
Sumber: http://www.sh-emam.com/show_fatawa.php?id=570
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
by admin | Feb 21, 2013 | Fatwa Ulama, Fiqh, Hadits, Pilihan
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Tulisan ini adalah serial pertama dari fikih qurban. Dalam tulisan sederhana berikut dan serial selanjutnya akan diungkap beberapa pembahasan tentang udhiyah atau yang kita kenal dengan “qurban” atau “kurban”. Kesempatan kali ini kita akan melihat definisi udhiyah dan kaitannya dengan bentuk penyembelihan lainnya.
Definisi Udhiyah
Secara bahasa udhiyah berarti kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul Adha.
Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala pada hari nahr (Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus.[1]
Kaitan Udhiyah dengan Qurban, Hadyu dan Aqiqah
Istilah qurban lebih umum dari udhiyah. Qurban adalah segala bentuk pendekatan diri pada Allah baik berupa penyembelihan atau selainnya. Kaitan udhiyah dan qurban yaitu keduanya sama-sama bentuk pendekatan diri pada Allah. Jika bentuk qurban adalah penyembelihan, maka itu lebih erat kaitannya.
Ada juga istilah hadyu, yaitu hewan ternak yang disembelih di tanah haram pada hari nahr (Idul Adha) bagi yang menjalankan haji tamattu’ atau qiron, atau karena meninggalkan salah satu wajib nusuk, atau melakukan salah satu larangan nusuk, baik ketika haji atau umrah, atau hanya sekedar melakukan ibadah tathowwu’ (sunnah) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah. Jadi, udhiyah dan hadyu sama-sama sembelihan berupa hewan ternak dan dilakukan pada hari nahr (Idul Adha) serta dilakukan sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah. Namun udhiyah tidak terdapat pada haji tamattu’ dan qiron, bukan pula sebagai kafaroh karena mengejarkan yang terlarang atau meninggalkan kewajiban.
Istilah lainnya adalah aqiqah. Aqiqah adalah hewan ternak yang disembelih sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat kelahiran anak baik putera maupun puteri. Jelas beda antara udhiyah dengan aqiqah. Udhiyah dilakukan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak. Jika seseorang dikarunai anak bertepatan dengan Idul Adha lalu ia menyembelih dalam rangka syukur nikmat atas kelahiran anaknya, sembelihan tersebut disebut aqiqah.[2]
Kesempatan selanjutnya Rumaysho.com akan membahas hukum kurban atau udhiyah dan keutamaannya. Semoga Allah memberi kemudahan.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Girisekar, Panggang, Gunungkidul, 10 Syawal 1433 H
Dari kumpulan artikel : www.rumaysho.com
__________
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 74
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 74-75
by admin | Feb 21, 2013 | Fatwa Ulama, Hadits, Pilihan
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).[ref]Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/1526, Multaqo Ahlul Hadits.[/ref]
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[ref]Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj, 41/172, Mawqi’ Al Islam[/ref]
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen). Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”[ref]Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, 9/420, Mawqi’ Al Islam[/ref]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[ref]Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 5/116, Maktabah Ar Rusyd, cetakan pertama, tahun 1409 H.[/ref]
Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[ref]Syarh Muntahal Irodaat, 4/146, Mawqi’ Al Islam.[/ref]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[ref]Fatawa wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/136, Asy Syamilah[/ref] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Point Penting dalam Penggabungan Niat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
- Kesamaan jenis.
- Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[arabic-font]إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ[/arabic-font]
“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”[ref]HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 714, dari Abu Qotadah.[/ref] Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[ref]Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 25/287-288, Darul Wathon-Dar Ats Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.[/ref]
Kesimpulan
- Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
- Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
- Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
- Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel bolehkah satu sembelihan untuk qurban dan aqiqah : http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, tengah malam, 19 Dzulqo’dah 1430 H
by admin | Oct 24, 2012 | Fatwa Ulama, Fiqh, Pilihan
Berikut adalah kumpulan artikel yang berkenaan dengan Qurban dan Idul Adha.
Pertama: dianjurkan untuk menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih.
[arabic-font]عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ « إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ »[/arabic-font]
Dari Syadad bin Aus, beliau berkata, “Ada dua hal yang kuhafal dari sabda Rasulullah yaitu Sesungguhnya Allah itu mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Demikian pula, jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian tajamkan pisau dan kalian buat hewan sembelihan tersebut merasa senang” (HR Muslim no 5167).
Kedua: penyembelih dianjurkan untuk menghadap kiblat dan menghadapakan hewan sembelihan ke arah kiblat.
[arabic-font]عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَأَنَّهُ كَانَ إِذَا أَهْدَى هَدْيًا مِنْ الْمَدِينَةِ قَلَّدَهُ وَأَشْعَرَهُ بِذِي الْحُلَيْفَةِ يُقَلِّدُهُ قَبْلَ أَنْ يُشْعِرَهُ وَذَلِكَ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ وَهُوَ مُوَجَّهٌ لِلْقِبْلَةِ يُقَلِّدُهُ بِنَعْلَيْنِ وَيُشْعِرُهُ مِنْ الشِّقِّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ يُسَاقُ مَعَهُ حَتَّى يُوقَفَ بِهِ مَعَ النَّاسِ بِعَرَفَةَ ثُمَّ يَدْفَعُ بِهِ مَعَهُمْ إِذَا دَفَعُوا فَإِذَا قَدِمَ مِنًى غَدَاةَ النَّحْرِ نَحَرَهُ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ وَكَانَ هُوَ يَنْحَرُ هَدْيَهُ بِيَدِهِ يَصُفُّهُنَّ قِيَامًا وَيُوَجِّهُهُنَّ إِلَى الْقِبْلَةِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيُطْعِمُ[/arabic-font]
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, adalah Ibnu Umar jika membawa hadyu dari Madinah maka beliau tandai bahwa hewan tersebut adalah hewan hadyu dengan menggantungkan sesuatu padanya dan melukai punuknya di daerah Dzul Hulaifah. Beliau gantungi sesuatu sebelum beliau lukai. Dua hal ini dilakukan di satu tempat. Sambil menghadap kiblat beliau gantungi hewan tersebut dengan dua buah sandal dan beliau lukai dari sisi kiri. Hewan ini beliau bawa sampai beliau ajak wukuf di Arafah bersama banyak orang kemudian beliau bertolak meninggalkan Arafah dengan membawa hewan tersebut ketika banyak orang bertolak. Ketika beliau tiba di Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah beliau sembelih hewan tersebut sebelum beliau memotong atau menggundul rambut kepala. Beliau sendiri yang menyembelih hadyu beliau. Beliau jajarkan onta-onta hadyu tersebut dalam posisi berdiri dan beliau arahkan ke arah kiblat kemudian beliau memakan sebagian dagingnya dan beliau berikan kepada yang lain (HR Malik dalam al Muwatha’ no 1405).
[arabic-font]عن نافع أن ابن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير القبلة[/arabic-font]
Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat (Riwayat Abdur Razaq no 8585 dengan sanad yang shahih).
[arabic-font]عن ابن سيرين قال : كان يستحب أن توجه الذبيحة إلى القبلة[/arabic-font]
Dari Ibnu Sirin (seorang tabiin) beliau mengatakan, “Dianjurkan untuk menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat” (Riwayat Abdur Razaq no 8587 dengan sanad yang shahih).
Riwayat-riwayat di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya anjuran untuk menghadapkan hewan yang hendak disembelih kea rah kiblat. Namun jika hal ini tidak dilakukan daging hewan sembelihan tersebut tetap halal dimakan.
An Nawawi menyebutkan adanya anjuran untuk membaringkan sapi dan kambing pada lambung kirinya. Dengan demikian proses penyembelihan akan lebih mudah.
Bahkan dalam al Mufhim 5/362, al Qurthubi mengatakan bahwa membaringkan hewan yang hendak disembelih pada lambung kirinya adalah suatu yang telah dipraktekkan kaum muslimin semenjak dahulu kala.
Bahkan Ibnu Taimiyyah mengklaim tata cara seperti ini sebagai salah satu sunnah Nabi.
Beliau berkata, “Hewan sembelihan baik hewan kurban ataupun yang lainnya hendaknya dibaringkan pada lambung kiri dan penyembelih meletakkan kaki kanannya di leher hewan tersebut sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih dari Rasulullah. Setelah itu hendaknya penyembelih mengucapkan bismilah dan bertakbir. Lengkapnya yang dibaca adalah sebagai berikut “Bismillahi allahu akbar. Allahumma minka wa laka. Allahumma taqabbal minni kama taqabbalta min Ibrahim khalilika”.
Barang siapa yang membaringkan hewan tersebut pada lambung kanannya dan meletakkan kaki kirinya di leher hewan tersebut akhirnya orang tersebut harus bersusah payah menyilangkan tangannya agar bisa menyembelih hewan tersebut maka dia adalah seorang yang bodoh terhadap sunnah Nabi, menyiksa diri sendiri dan hewan yang akan disembelih. Akan tetapi daging hewan tersebut tetap halal untuk dimakan. Jika hewan tersebut dibaringkan pada lambung kirinya maka lebih nyaman bagi hewan yang hendak disembelih dan lebih memperlancar proses keluarnya nyawa serta lebih mudah dalam proses penyembelihan. Bahkan itulah sunnah yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan seluruh kaum muslimin bahkan praktek semua orang.
Demikian pula dianjurkan agar hewan yang hendak disembelih tersebut dihadapkan ke arah kiblat” (Majmu Fatawa 26/309-310).
Ketiga: Dimakruhkan memotong leher hewan yang disembelih
[arabic-font]عن نافع أن بن عمر كان لا يأكل الشاة إذا نخعت[/arabic-font]
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar tidak mau memakan daging kambing yang disembelih hingga lehernya terputus (Riwayat Abdur Razaq no 8591dengan sanad yang shahih).
[arabic-font]عن بن طاووس عن أبيه قال لو أن رجلا ذبح جديا فقطع رأسه لم يكن بأكله بأس[/arabic-font]
Dari Ibnu Thawus dari Thawus, beliau berkata, “Andai ada orang yang menyembelih hewan hingga lehernya putus maka daging hewan tersebut tetap boleh dimakan” (Riwayat Abdur Razaq no 8601 dengan sanad yang shahih).
[arabic-font]عن معمر قال سئل الزهري عن رجل ذبح بسيفه فقطع الرأس قال بئس ما فعل فقال الرجل فيأكلها قال نعم[/arabic-font]
Dari Ma’mar, Az Zuhri –seorang tabiin- ditanya tentang seorang yang menyembelih dengan menggunakan pedang sehingga leher hewan yang disembelih putus. Jawaban beliau, “Sungguh jelek apa yang dia lakukan”. “Apakah dagingnya boleh dia makan?”, lanjut penanya. “Boleh”, jawab az Zuhri (Riwayat Abdur Razaq no 8600 dengan sanad yang shahih).
Tentang hal ini, ada juga ulama yang memberi rincian. Jika dilakukan dengan sengaja maka dagingnya jangan dimakan. Akan tetapi jika tanpa sengaja maka boleh. Di antara yang berpendapat demikian adalah Atha, seorang ulama dari generasi tabiin.
[arabic-font]عن عطاء قال إن ذبح ذابح فأبان الرأس فكل ما لم يتعمد ذلك[/arabic-font]
Dari Atha’, beliau berkata, “Jika ada orang yang menyembelih hewan hingga kepala terpisah dari badannya maka silahkan kalian makan asalkan orang tersebut tidak sengaja” (Riwayat Abdur Razaq no 8599 dengan sanad yang shahih).
Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau membenci perbuatan ini jika dilakukan dengan sengaja sebagaimana dalam Sualat Abdullah bin Ahmad hal 260 no 980 dan 981.
Demikian pula Imam Syafii membenci hal ini (al Hawi 15/87-91).
by admin | Jun 29, 2012 | Fatwa Ulama, Hadits
Syaikhuna, Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah ditanya, “Apakah ada dalil dari Al Qur’an atau hadits nabawi yang menunjukkan anjuran shalat malam nishfu sya’ban dan puasa di siang harinya? Jika ada dalil, bagaimana cara khusus untuk menghidupkan malam nishfu sya’ban tersebut?
Syaikh hafizhohullah menjawab,
Tidaklah ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan anjuran menghidupkan malam nishfu Sya’ban atau berpuasa pada siang harinya (15 Sya’ban). Tidak ada dalil yang menjadi sandaran dalam hal tersebut. Malam nishfu Sya’ban seperti halnya malam lainnya. Barangsiapa memiliki kebiasaan menghidupkan malam harinya dengan shalat tahajjud, maka hendaklah ia menghidupkannya sebagaimana ia melakukannya di malam-malam lainnya selama ia tidak menganggap pada malam tersebut punya keistimewaan. Karena mengkhususkan suatu waktu untuk ibadah harus membutuhkan dalil yang shahih. Jika tidak ada dalilshahih, maka mengkhususkan suatu ibadah pada waktu tertentu termasuk amalan yang tidak ada tuntunan. Setiap amalan yang tidak ada tuntunan termasuk kesesatan.
Begitu pula tidak ada dalil yang menunjukkan anjuran berpuasa pada tanggal 15 Sya’ban atau pada hari nishfu Sya’ban. Tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan untuk melakukan puasa pada hari tersebut. Jadi jika mengistimewakan puasa pada hari tersebut, maka jelas adalah suatu yang tidak ada tuntunannya. Karena amalan yang tidak ada tuntunan adalah yang tidak memiliki dalil dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dianggap oleh orang yang melakukannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena sekali lagi ibadah adalah tauqifiyah yang harus didukung oleh dalil syar’i.
Adapun hadits yang membicarakan nishfu sya’ban semuanya dho’if (lemah) sebagaimana disebutkan oleh para ulama sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam beribadah. Jadinya tidak perlu mengkhususkan ibadah shalat malam maupun puasa pada hari tersebut. Namun bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), maka hendaklah ia melakukan puasa tersebut pada bulan Sya’ban sebagaimana bulan lainnya dan tidak perlu menjadikan tanggal 15 tersebut menjadi hari yang istimewa dari yang lainnya. Begitu pula yang hendak memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka silakan melakukannya. Akan tetapi janganlah menjadikan puasa tanggal 15 tersebut menjadi puasa yang istimewa lebih dari yang lainnya. Puasa pada tanggal tersebut hanyalah ikutan dari puasa lainnya.
Intinya, tidaklah tepat mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan shalat malam. Begitu pula tidaklah tepat mengistimewakan hari nishfu Sya’ban (15 Sya’ban) dengan puasa khusus. Semua yang dilakukan orang awam pada malam tersebut atau siang harinya, semuanya adalah amalan yang tidak ada tuntunan dan perlu diperingatkan. Ibadah shalat dan puasa sudahlah cukup dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak perlu membuat-buat suatu amalan baru (yang tidak ada tuntunannya). Wallahu Ta’ala a’lam. [Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan, soal no. 156, urutan Asy Syamilah]
Renungan …
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin(menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah masuk pada keumuman malam, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3: 29).
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Baca pembahasan lainnya di Rumaysho.com mengenai malam Nishfu Sya’ban:
- Meninjau ritual malam Nishfu Sya’ban.
- Kritik hadits malam Nishfu Sya’ban.
- Kekeliruan di malam Nishfu Sya’ban.
- Amalan keliru di bulan Sya’ban.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 8 Sya’ban 1433 H
www.rumaysho.com
by admin | May 21, 2012 | Fatwa Ulama, Hadits
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shobihi ajma’in.
Sebagian orang sempat menganjurkan bahwa banyaklah puasa pada bulan Rajab. Ada pula yang menganjurkan untuk berpuasa di awal-awal bulan Rajab. Apakah betul anjuran seperti ini ada dasarnya? Silakan ditelusuri dalam pembahasan singkat berikut ini. Semoga bermanfaat.
Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka ia menjawab : Aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpuasa sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa seluruh bulan. Namun suatu saat beliau tidak berpuasa sampai kami berkata : Nampaknya beliau tidak akan puasa sebulan penuh.” (HR. Muslim dalam kitab Ash Shiyam. An Nawawi membawaknnya dalam Bab Puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di selain bulan ramadhan)
Sebagian orang agak sedikit bingung dalam menyikapi hadits di atas, apakah di bulan Rajab harus berpuasa sebulan penuh ataukah seperti apa?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ’Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ’Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
[arabic-font]لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ[/arabic-font]
”Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, ”Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.”
Beliau berdalil dengan hadits ’Aisyah yaitu ’Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut.
- Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib yaitu amalan puasa Ramadhan).
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Kesimpulan: Tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.
Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.
Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com sekalian. Semoga Allah selalu memberkahi kita di bulan Rajab ini.
Nantikan penjelasan selanjutnya mengenai perayaan Isro’ Mi’roj. Semoga Allah mudahkan.
Artikel dari www.rumaysho.com
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal