by admin | Jul 28, 2012 | Akhlaq, Fiqh
Alhamdulillahi wahdah, wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah.
Amat beragam pandangan kaum muslimin dalam memetik hikmah datangnya bulan Ramadhan. Keberagaman itu bersumber dari perbedaan sudut pandang mereka, berwarna-warninya pendidikan mereka dan yang paling penting adalah berjenjangnya tingkat keimanan mereka.
Para penjual kelapa muda dadakan misalnya, memandang bahwa hikmahnya Ramadhan adalah: menambah penghasilan yang cukup lumayan untuk beli baju lebaran untuk anak dan istri.
Para pegawai, sebagian mereka memandang bahwa hikmahnya Ramadhan adalah: dikuranginya jam kantor, sehingga masuknya lebih siang dan pulangnya lebih gasik.
Anak-anak sekolah tidak jauh berbeda pandangannya dengan bapak-bapak dan ibu-ibu pegawai di atas.
Para penjahat, mungkin sebagian mereka memindahkan ‘jam kerjanya’ ke malam hari; karena di siang harinya tubuh mereka lemas akibat berpuasa, jika mereka berpuasa.
‘Hikmah-hikmah’ tersebut di atas hanyalah ‘hikmah’ duniawi. Namun orang yang beriman, tentunya tidak berpandangan dengan sudut pandang sempit dan naif seperti itu, sebab dia memiliki target utama yang jauh lebih mulia dari itu semua; ketentraman batin di dunia dan kehidupan abadi di surga.
Orang beriman menjadikan wahyu qur’ani dan hadits nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagai landasan dia dalam memetik hikmah bulan Ramadhan. Yang itu secara gamblang disebutkan Allah ta’ala dalam suatu ayat yang telah dihapal redaksinya oleh kebanyakan kita, namun masih perlu untuk terus kita gali kandungannya. Yaitu firman Allah ta’ala,
[arabic-font]“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”.[/arabic-font]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian; agar kalian bertakwa”. QS. Al-Baqarah: 183.
Takwa didefinisikan oleh para ulama dengan: menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya.
Dalam poin-poin berikut, kami berusaha menarik benang merah antara takwa dengan hikmah Ramadhan bagi aparat negara dan pegawai pemerintah secara umum. Semoga tepat dan bermanfaat.
Poin pertama: Puasa dan Kaitannya dengan Keikhlasan dalam Menjalankan Tugas.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, Allah ta’ala berfirman,
[arabic-font]“كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ”.[/arabic-font]
“Setiap amalan anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa, ia adalah milik-Ku, dan Akulah yang langsung akan mengganjarnya”. HR. Bukhari dan Muslim.
Apa yang membedakan ibadah puasa dengan ibadah lainnya, sehingga mendapatkan keistimewaan, dikatakan bahwa ibadah tersebut adalah milik Allah?
Selain karena kemuliaannya dan kecintaan Allah padanya, juga dikarenakan keikhlasan seorang hamba yang begitu kentara dalam melaksanakannya. Sebab puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Dalam kesendirian dia tetap berpuasa, walau tidak dilihat manusia.
Jika seorang insan telah ikhlas dalam puasanya, maka buahnya dia akan terlatih untuk selalu ikhlas dalam setiap amal ibadahnya termasuk ketika ia menjalankan tugas.
Inilah bedanya orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman, dalam menjalankan tugas. Orang yang tidak beriman ketika menjalankan tugas, hanya kepentingan duniawi yang ia harapkan dari pekerjaannya, sehingga buah rasa lelah dia dalam menjalani tugasnya hanyalah gaji yang diperoleh setiap bulannya. Namun orang yang beriman, selain dia mengharapkan gaji, ia juga merindukan ganjaran berupa pahala surga Allah. Karena setiap langkah yang ia ayunkan dalam menjalankan tugas ia niatkan karena Allah.
Poin Kedua: Puasa dan hubungannya dengan tepat waktu dalam menjalankan tugas.
Sebagaimana ibadah lain dalam Islam, semisal shalat, zakat dan haji, puasa juga memiliki batas waktu pelaksanaan yang telah ditentukan dalam agama, tidak boleh mundur dan maju. Waktu puasa dimulai dengan terbitnya fajar dan ditutup dengan terbenamnya matahari. Andaikan ada orang yang ingin merubah batasan tadi, walaupun dengan niat supaya amalannya lebih banyak; jelas tidak dibenarkan.
Jika dicermati, hal itu mendidik kita untuk senantiasa tepat waktu dalam setiap perkara, termasuk perkara duniawi. Di antaranya dalam menjalankan tugas. Sehingga baik ada komandan maupun tidak, dilihat pimpinan ataupun tidak, jika telah saatnya masuk kerja, ia akan tetap waktu. Bukan seperti tindakan sebagian orang yang ketika masuk kerja penginnya masuk siang, giliran pulang penginnya duluan; selalu minta kortingan dalam jam kerja. Tapi giliran menerima gaji tidak mau dikorting! Halalkah kelebihan gaji yang ia terima? Tentunya tidak!
Allah ta’ala telah mencela orang-orang yang curang dalam timbangan; mereka minta haknya dipenuhi, namun giliran memberi hak orang lain, mereka berbuat curang!#
[arabic-font]“وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ . الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ . وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ . أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ . لِيَوْمٍ عَظِيمٍ . يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ”.[/arabic-font]
Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahea sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?”. QS. Al-Muthaffifin: 1-6.
Poin Ketiga: Puasa dan Kaitannya dengan Usaha untuk Menghindarkan Diri dari Tindak Penyelewengan Tugas.
Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya,
[arabic-font]“إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ”[/arabic-font]
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu juga turut berpuasa”#.
Yang dimaksud dengan puasa lisan, mata dan pendengaran adalah tidak menggunakan organ tubuh tersebut untuk tindak maksiat.
Para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’, ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya dibolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman; seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa”.
Seorang yang beriman juga senantiasa menjaga lisannya dari transaksi suap menyuap, bukan karena takut obrolan via hpnya dengan ‘konsumen’ disadap oleh KPK, namun karena dia terlatih untuk senantiasa merasa diawasi Allah yang ‘menyadap’ seluruh omongan para hamba-Nya dan akan menuntut pertanggungjawaban kelak di hari akhir.
Allah ta’ala mengingatkan,
[arabic-font]“مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ”.[/arabic-font]
Artinya: “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)”. QS. Qaf: 18.
Ketika faktor pendorong seorang hamba untuk tidak menerima suap adalah rasa takut kepada Allah, diapun tidak akan berusaha mencari tempat-tempat sepi yang menurut prediksi dia tidak tersorot kamera CTTV, seperti kuburan misalnya. Sebab dia menyadari bahwa di manapun ia berada pasti Allah tetap melihatnya.
Sebagian ulama menafsirkan firman Allah,
[arabic-font]“يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا”.[/arabic-font]
Artinya: “Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya”. QS. Az-Zalzalah 4.
Maksudnya adalah: kelak bumi akan bercerita kepada Allah apa saja yang dilakukan bani Adam di atas permukaannya.
by admin | Jun 24, 2012 | Fiqh
Sungguh indah ikatan suci antara dua orang insan yang pasrah untuk saling berjanji setia menemani mengayuh biduk mengarungi lautan kehidupan. Dari ikatan suci ini dibangun keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami yang shalih dan dimotori oleh seorang istri yang shalihah. Mereka mengerti hak-hak dan kewajiban mereka terhadap pasangannya, dan mereka pun memahami hak dan kewajiban mereka kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahir dari mereka berdua anak-anak yang tumbuh dalam ketaatan kepada AllahAzza Wa Jalla. Cinta dan kasih sayang pun tumbuh subur di dalamnya. Rahmat dan berkah Allah pun terlimpah kepada mereka. Inilah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, samara kata orang. Inilah model keluarga yang diidamkan oleh setiap muslim tentunya.
Tidak diragukan lagi, bahwa untuk menggapai taraf keluarga yang demikian setiap orang harus melewati sebuah pintu, yaitu pernikahan. Dan usaha untuk meraih keluarga yang samara ini hendaknya sudah dimulai saat merencanakan pernikahan. Pada tulisan singkat ini akan sedikit dibahas beberapa kiat menuju pernikahan Islam yang diharapkan menjadi awal dari sebuah keluarga yang samara.
Berbenah Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik
Penulis ingin membicarakan 2 jenis manusia ketika ditanya: “Anda ingin menikah dengan orang shalih/shalihah atau tidak?”. Manusia jenis pertama menjawab “Ya, tentu saja saya ingin”, dan inilah muslim yang masih bersih fitrahnya. Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat kepada Allah, ia mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau shalihah. Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang yang shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya: “Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula”[QS. An Nur: 26]. Yaitu dengan berbenah diri, berusaha untuk bertaubat dan meninggalkan segala kemaksiatan yang dilakukannya kemudian menambah ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan manusia jenis kedua menjawab: “Ah saya sih ndak mau yang alim-alim” atau semacam itu. Inilah seorang muslim yang telah keluar dari fitrahnya yang bersih, karena sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan sehingga ia melupakan Allah Ta’ala, melupakan kepastian akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa neraka. Yang ada di benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan menggapai kebahagiaan akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang enggan masuk surga. Lho, masuk surga koq tidak mau? RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah?’. Beliau bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga” [HR. Bukhari]
Seorang istri atau suami adalah teman sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama bahkan mungkin seumur hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada seorang insan yang seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar mendurhakai Allah dan Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Keadaan agama seorang insan tergantung pada keadaan agama teman dekatnya. Maka sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat” [HR. Ahmad, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani]
Bekali Diri Dengan Ilmu
Ilmu adalah bekal penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin membangun keluarga Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap muslim. Seperti ilmu tentang aqidah yang benar, tentang tauhid, ilmu tentang syirik, tentang wudhu, tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu yang lain, yang jika ilmu-ilmu wajib ini belum dikuasai maka seseorang dikatakan belum benar keislamannya. Lebih baik lagi jika membekali diri dengan ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, tafsir al Qur’an, Fiqih, Ushul Fiqh karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Renungkanlah firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [QS. Al Mujadalah: 11]
Secara khusus, ilmu yang penting untuk menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan. Tata cara pernikahan yang syar’I, syarat-syarat pernikahan, macam-macam mahram, sunnah-sunnah dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari, dan yang lainnya.
Siapkan Harta Dan Rencana
Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan walimah dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” [HR. Ahmad, Abu Dawud].
Namun kebutuhan akan harta ini jangan sampai dijadikan pokok utama sampai-sampai membuat seseorang tertunda atau terhalang untuk menikah karena belum banyak harta. Harta yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (mensyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah” [HR. Bukhari].
Disamping itu, terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya” [HR. Ahmad]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas Bin Malik Radhiyallahu’anhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari-Muslim].
Selain itu rumah tangga bak sebuah organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat berjalan lancar. Maka hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah untuk membuat perencanaan matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya berkaitan dengan tempat tinggal, pekerjaan, dll.
Pilihlah Dengan Baik
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius : nikah, cerai dan ruju’ ” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali Nasa’i). Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Kriteria yang paling utama adalah agama yang baik. Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik agamanya, ia memahami aqidah Islam yang benar, ia menegakkan shalat, senantiasa mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik agamanya“Wanita dikawini karena empat hal : ……. hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [HR. Bukhari- Muslim]. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah].
Selain itu ada beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih calon istri atau suami:
- Sebaiknya ia berasal dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat)
- Sebaiknya ia sekufu. Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan kekayaannya
- Gadis lebih diutamakan dari pada janda
- Subur (mampu menghasilkan keturunan)
- Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika engkau pandang…” [HR. Thabrani]
- Hendaknya calon istri memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf
- Hendaknya calon istri adalah wanita yang mengaja auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram.
Shalat Istikharah Agar Lebih Mantap
Pentingnya urusan memilih calon pasangan, membuat seseorang layak untuk bersungguh-sungguh dalam hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari JabirRadhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan Al Qur’an” [HR. Bukhari].
Datangi Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah
Setelah pilihan telah dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan fisik wanita yang hendak dilamar, agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak. Terdapat banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak menikahi seorang wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah”[HR. Abu Dawud].
Namun dalam nazhor disyaratkan beberapa hal yaitu, dilarang dilakukan dengan berduaan namun ditemani oleh mahrom dari sang wanita, kemudian dilarang melihat anggota tubuh yang diharamkan, namun hanya memandang sebatas yang dibolehkan seperti wajah, telapak tangan, atau tinggi badan.
Dalil-dalil tentang adanya nazhor dalam Islam juga mengisyaratkan tentang terlarangnya pacaran dalam. Karena jika calon pengantin sudah melakukan pacaran, tentu tidak ada manfaatnya melakukan Nazhor.
Setelah bulat keputusan maka hendaknya lelaki yang hendak menikah datang kepada wali dari sang wanita untuk melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak mendefinisikan ritual atau acara khusus untuk melamar. Namun inti dari melamar adalah meminta persetujuan wali dari sang wanita untuk menikahkan kedua calon pasangan. Karena persetujuan wali dari calon wanita adalah kewajiban dan pernikahan tidak sah tanpanya. RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan keberadaan wali” [HR. Tirmidzi]
Siapkan Mahar
Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [QS. An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya mahar adalah ‘hadiah’ untuk sang istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak boleh diambil. Dan terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah. Sebagaimana telah dibahas di atas.
Setelah itu semua dijalani akhirnya sampailah di hari bahagia yang ditunggu-tunggu yaitu hari pernikahan. Dan tali cinta antara dua insan pun diikat.
Belum Sanggup Menikah?
Demikianlah uraian singkat mengenai kiat-kiat bagi seseorang yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nah, lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin menikah namun belum dimampukan oleh Allah Ta’ala? AllahSubhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” [QS. An Nur: 33]. As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Yaitu menjaga diri dari yang haram dan menempuh segala sebab yang dapat menjauhkan diri keharaman, yaitu hal-hal yang dapat memalingkan gejolak hati terhadap hal yang haram berupa angan-angan yang dapat dikhawatirkan dapat menjerumuskan dalam keharaman” [Tafsir As Sa’di]. Intinya, Allah Ta’alamemerintahkan orang yang belum mampu untuk menikah untuk bersabar sampai ia mampu kelak. Dan karena dorongan untuk menikah sudah bergejolak mereka diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut tidak membawa mereka untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menyarakan kepada orang yang belum mampu untuk menikah untuk banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan untuk bermaksiat [HR. Bukhari-Muslim]. Selama masih belum mampu untuk menikah hendaknya ia menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia lengah sejenak saja dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap menjerumuskannya. Ibnul Qayyim Al Jauziyah memiliki ucapan emas: “Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi, hal. 109). Kemudian senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk segera menikah.
Wallahul Musta’an.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.remajaislam.com
by admin | Jun 24, 2012 | Fiqh
Untuk membuat seseorang akan tertarik pada kita, caranya adalah dengan mencari perhatiannya. Berbuatlah baik padanya, maka ia pun akan merasa diberi hati. Sehingga ia akan semakin lekat dan semakin menempel. Namun maksud tulisan ini bukanlah sebagai tips untuk muda-mudi yang hatinya sedang berbunga-bunga dengan kekasihnya. Tidak sama sekali, karenapacaran adalah jalan menuju zina dan jelas haramnya. Yang kami jelaskan di sini adalah tabiat hati yang cenderung akan menyukai orang yang berbuat baik padanya. Dan yang lebih terpenting adalah jika kecintaan tersebut dilandaskan cinta karena Allah.
Cenderung Cinta Padanya
Dalam sebuah atsar disebutkan,
[arabic-font]جبلت القلوب على حب من أحسن إليها وبغض من أساء إليها[/arabic-font]
“Tabiat hati adalah cenderung mencintai orang yang berbuat baik padanya dan membenci orang yang berbuat jelek padanya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6: 2985, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 4: 131, Al Jami’ Ash Shogir 3580. As Suyuthi mengatakan hadits ini dho’if). Walaupun hadits ini dho’if, namun maknanya tepat dan benar.
Cintailah Karena Allah
Kecintaan seseorang pada orang yang suka berbuat baik padanya, itu memang boleh. Namun hendaklah kecintaan tersebut dibangun di atas kecintaan karena Allah. Artinya, standar kecintaan pada saudaranya seimbang dengan ketaatan saudaranya pada Allah. Jika saudaranya termasuk kalangan orang sholeh dan bertakwa, ia akan semakin cinta. Sebaliknya, cintanya akan semakin berkurang pada yang suka berbuat maksiat dan durhaka. Inilah maksud kecintaan karena Allah. Berarti kecintaan seseorang yang mencintai karena Allah akan berbeda pada pecandu rokok dan pada pemuda yang lisannya tidak pernah lepas dari dzikir. Kecintaan karena Allah itulah yang menuai kelezatan dan manisnya iman.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[arabic-font]ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ[/arabic-font]
“Tiga perkara yang seseorang akan merasakan manisnya iman : [1] ia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lainnya, [2] ia mencintai seseorang hanya karena Allah, [3] ia benci untuk kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci bila dilemparkan dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 6941 dan Muslim no. 43)
Begitu juga dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenerangkan mengenai tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tiada naungan selain dari-Nya. Di antara golongan tersebut adalah,
[arabic-font]وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ[/arabic-font]
“Dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah dengan sebab cinta karena Allah.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031)
Begitu pula dalam hadits Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[arabic-font]إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِى اللَّهِ[/arabic-font]
“Sesungguhnya amalan yang lebih dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad 5: 146 dan Abu Daud no. 4599. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirih, dilihat dari jalur lain)
Akan Dikumpulkan Bersama Orang yang Dicintai
Inilah di antara faedah besar seseorang mencintai saudaranya karena Allah atau termasuk dalam hal ini adalah mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
[arabic-font]أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ[/arabic-font]
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639)
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari no. 3688)
Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
[arabic-font]الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ وَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ[/arabic-font]
“Seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai. Dan engkau akan bersama orang yang engkau cintai.” (HR. Tirmidzi no. 2385. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar berkata, “Maksud ‘sesungguhnya engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai’ adalah engkau akan didekatkan dengan mereka, begitu pula hal ini termasuk dalam golongan yang ia cintai. Bagaimana jika kedudukan di surga di antara mereka bertingkat-tingkat derajat? Apakah masih tetap dikatakan bersama? Jawabnya, tetap masih disebut bersama. Selama masih ada kesamaan, seperti sama-sama masuk surga, maka itu pun disebut bersama. Jadi tidak mesti bersama dalam segala sisi. Jika semuanya tadi masuk surga, itu sudah disebut bersama walau berbeda-beda derajat.” (Fathul Bari, 10: 555)
Kecintaan yang Mubah
Kecintaan biasa yang sifatnya mubah (baca: boleh-boleh saja) tidak menyebabkan kecintaan tersebut terbawa sampai akhirat. Derajat mereka akan tergantung pada amalnya dan sesuai karunia Allah Ta’ala. Patut direnungkan firman Allah Ta’ala,
[arabic-font]وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا[/arabic-font]
“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (QS. Thoha: 112)
Intinya kecintaan yang bermanfaat adalah kecintaan karena Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala,
[arabic-font]الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ[/arabic-font]
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf: 67)[ref]
Tulisan di atas dikembangkan dari tulisan pada link:
http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=168325[/ref]
Ya Allah, tumbuhkanlah rasa cinta kami terhadap sesama yang dilandasi kecintaan karena-Mu. Aamiin Ya Mujibbas Saa-ilin.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 13 Muharram 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
by admin | Feb 23, 2012 | Akhlaq, Fiqh, Umum
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat serta salam bagi Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, keluarga, para sahabatnya dan mereka yang mengikuti petunjuk Beliau. Amma ba’du Sesungguhnya dengan sebab perkara yang menimpa Islam dan kaum muslimin berupa kejadian-kejadian yang suram, kehinaan dan keterpurukan di hadapan musuh-musuh Islam. Nasib kaum muslimin di depan musuh-musuhnya bagaikan santapan -di nampan – di hadapan para pemangsanya. Maka kami menyeru kepada para ulama kaum muslimin dan lembaga-lembaga ilmiah di tiap-tiap daerah yang ada di penjuru dunia, juga pemerintah kaum muslimin agar semuanya bertaqwa kepada Allah tentang kondisi ummat dewasa ini.
Hendaklah mereka mengetahui betapa ummat ini terancam mara bahaya, bahkan tertimpa bencana dan malapetaka. Hendaklah mereka tersadar akan tanggung-jawab di hadapan Allah untuk menyelamatkan ummat ini dari bala’ (malapetaka) dan kecelakaan yang menimpa mereka kemudian bersegera mencurahkan daya dan upayanya dengan melaksanakan sebab-sebab yang dapat membantu mereka keluar (dari malapetaka ini). Diantaranya yang terpenting adalah kembali kepada agama mereka yang benar baik di dalam aqidah, ibadah, akhlaq dan siyasah (strategi/politik yang syar’i). Hendaklah mereka berpegang teguh dengan manhaj yang benar yang bersandarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta apa yang dipahami oleh salafus shalih di dalam mendidik generasi (ummat ini) di masjid-masjid serta lembaga pendidikan di berbagai jenjang dengan memanfaatkan berbagai sarana informasi yang ada, sambil selalu mengingat sabda Rasulullah :
[arabic-font]كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته[/arabic-font]
Artinya : “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban tentang kepemimpinannya”. (HR Ibnu Majah dari Anas radiyallahu ‘anhu)Juga sabda Rasul shalallahu alaihi wa sallam:
[arabic-font]إذا تبايعتم بالعينة ورضيتم بالزرع واتبعتم أذناب البقر وتركتم الجهاد في سبيل الله سلط الله عليكم ذلاً لا ينزعه عنكم حتى ترجعوا إلى دينكم[/arabic-font]
Artinya : “Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara ‘inah (sejenis riba, pent), telah larut dalam bercocok tanam, mengikuti ekor-ekor lembu dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang tidak akan tercabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada ajaran agama kalian (Islam, pent). (HR Abu Dawud dari Ibnu Umar)”Tidak diragukan bahwa ummat ini terjatuh pada keterpurukan di dalam beberapa perkara bahkan terjatuh pada kondisi yang sangat pahit. Para pemimpin ummat ini (ulama, pemerintah dan lembaga-lembaga ilmiah) agar selalu mengingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
[arabic-font]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ[/arabic-font]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Ketahuilah bahwa sama sekali tidak ada jalan bagi kalian untuk menyelamatkan ummat ini kecuali dengan cara ini (kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan pemahaman salafussholih, pent). Dan apabila mengambil jalan selain itu, maka tidak akan bertambah kepada ummat ini kecuali kebinasaan dan kehinaan. Sungguh musuh-musuh Islam tidaklah rela melainkan ingin agar mereka keluar dari agamanya. Aku memohon kepada Allah yang Maha Mulia Rabb Arsy yang Agung agar memberikan taufik kepada ummat ini baik pemerintah muslim, ulama maupun rakyatnya untuk bersegera melakukan sebab-sebab yang bermanfaat dimana Allah tidak akan menerima selainnya. Mudah-mudahan Allah menyatukan hati ummat Islam dan kalimat mereka di atas al-haq (kebenaran).
Pada kesempatan ini aku tujukan nasehatku kepada mereka yang diberi taufik oleh Allah -untuk mengikuti manhaj salafusshaleh agar bertaqwa kepada Allah dan memantau diri mereka lahir maupun batin, mengikhlaskan pada Allah baik ucapan maupun perbuatan mereka. Juga bersegera untuk menuntut ilmu yang bermanfaat.
Kemudian aku nasehatkan kepada pengelola situs internet, agar menjadikan situs internet ini sebagai sarana yang efektif untuk menyebarkan manhaj salafi secara ilmiah dan benar pada setiap materi yang disuguhkan pada kaum muslimin melalui sarana ini yang dipermudah untuk mereka. Hendaknya yang menanganinya adalah para ulama manhaj salafy ini, khususnya yang menguasai bidangnya masing-masing.
Maka yang menguasai bidang tafsir Al-Qur’an, hendaklah menulis tentang tafsir; ilmu-ilmunya, hendaklah menyinggung (pembahasan) dengan aqidah dan macam-macamnya, ibadah, mu’amalah serta akhlaq, di celah-celah ayat yang ia tafsirkan, demikian pula pembahasan tentang ushulut tafsir (pokok-pokok) dan macam-macamnya. Kemudian yang ahli dalam bidang hadits hendaklah menulis makalah-makalah yang terambil dari sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam serta terfokus dalam masalah aqidah dan yang lainnya, seperti yang telah saya sebutkan atas saudaranya yang menguasai tafsir tadi sebagaimana iapun semestinya menulis tentang ilmu musthalahul hadits dan biografi para ulama hadits.
Bagi yang menguasai bidang fiqih, hendaknya dia menulis makalah yang berkaitan dengan bidang ini, memilih pembahasan yang membantu para penuntut ilmu di dalam memahami Al-Qur an dan Sunnah Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam serta membahas masalah fiqh yang disertai dalil. Bagi yang menguasai bidang tarikh (sejarah), hendaklah dia menulis sejarah Nabi shallallhu’alaihi wasallam, para sahabatnya dan figur para ulama ummat ini yang terbukti nyata dalam pembelaannya terhadap Islam. Kemudian yang menguasai bacaan (Al Qur’an) dan tajwid, hendaklah menulis makalah di bidang ini, juga yang menguasai bidang bahasa, hendaklah menulis pembahasan makalah di bidang tersebut, dengan syarat menjauhkan perkara yang tidak dikenal dalam manhaj salafy ini seperti: Majaz dan semisalnya.
Hendaknya jangan melakukan bantahan terhadap ahlul bid’ah dan membongkar kesesatan mereka kecuali para ulama.Saya berharap bagi para penanggungjawab situs Sahab dan yang lainnya, agar tidak menerima tulisan-tulisan kecuali yang benar-benar jelas menyebutkan namanya dan jangan menerima yang hanya menggunakan nama-nama yang tidak jelas (samaran).
“Demikian pula saya berharap kepada salafiyyin secara umum agar menjauhkan diri dari perdebatan yang batil dan sebab-sebab yang menyeret pada perpecahan. Kalaupun hal itu terjadi (di kalangan salafiyyin), maka jangan sampai memperbanyak perdebatan dan jangan sama sekali mencantumkan permasalahan ini pada situs internet salafiyah atau yang lainnya”.
Namun segera dikembalikan kepada para ulama agar mereka membimbing dengan perkataan yang benar yang dapat menyelesaikan perselisihan ini, Insya Allah. Saya nasehatkan kepada ikhwah agar semangat dalam menyebarkan ilmu yang bermanfaat di antara mereka dan menyebarkan sebab-sebab yang dapat mengantarkan kecintaan dan persaudaraan di antara mereka.Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik kepada semuanya terhadap apa yang dicintai dan diridhaiNya serta menyatukan hati-hati mereka. Sesungguhnya Rabbku Maha Mendengar (mengabulkan ) doa.
Penulis: Asy-Syaikh Al Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
5 Dzulhijjah 1424 H. Makkah Al-Mukarramah
sumber: http://www.salafy.or.id, (Dikutip dari fatwa Asy-Syaikh Al Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali25 Dzulhijjah 1424 H. Makkah Al-Mukarramah. Diterjemahkan oleh al Ustadz Usamah Mahri.
diterjemahkan oleh: Ustadz Usamah bin Faishal Mahri Hafidzahullah
URL Sumber:
http://www.sahab.net
http://ittibausalafpress.blogspot.com
http://kaahil.wordpress.com