Malam Nishfu Sya’ban Seperti Malam Lainnya

Malam Nishfu Sya’ban Seperti Malam Lainnya

Syaikhuna, Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah ditanya, “Apakah ada dalil dari Al Qur’an atau hadits nabawi yang menunjukkan anjuran shalat malam nishfu sya’ban dan puasa di siang harinya? Jika ada dalil, bagaimana cara khusus untuk menghidupkan malam nishfu sya’ban tersebut?

Syaikh hafizhohullah menjawab,

Tidaklah ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan anjuran menghidupkan malam nishfu Sya’ban atau berpuasa pada siang harinya (15 Sya’ban). Tidak ada dalil yang menjadi sandaran dalam hal tersebut. Malam nishfu Sya’ban seperti halnya malam lainnya. Barangsiapa memiliki kebiasaan menghidupkan malam harinya dengan shalat tahajjud, maka hendaklah ia menghidupkannya sebagaimana ia melakukannya di malam-malam lainnya selama ia tidak menganggap pada malam tersebut punya keistimewaan. Karena mengkhususkan suatu waktu untuk ibadah harus membutuhkan dalil yang shahih. Jika tidak ada dalilshahih, maka mengkhususkan suatu ibadah pada waktu tertentu termasuk amalan yang tidak ada tuntunan. Setiap amalan yang tidak ada tuntunan termasuk kesesatan.

Begitu pula tidak ada dalil yang menunjukkan anjuran berpuasa pada tanggal 15 Sya’ban atau pada hari nishfu Sya’ban. Tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan untuk melakukan puasa pada hari tersebut. Jadi jika mengistimewakan puasa pada hari tersebut, maka jelas adalah suatu yang tidak ada tuntunannya. Karena amalan yang tidak ada tuntunan adalah yang tidak memiliki dalil dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dianggap oleh orang yang melakukannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena sekali lagi ibadah adalah tauqifiyah yang harus didukung oleh dalil syar’i.

Adapun hadits yang membicarakan nishfu sya’ban semuanya dho’if (lemah) sebagaimana disebutkan oleh para ulama sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam beribadah. Jadinya tidak perlu mengkhususkan ibadah shalat malam maupun puasa pada hari tersebut. Namun bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), maka hendaklah ia melakukan puasa tersebut pada bulan Sya’ban sebagaimana bulan lainnya dan tidak perlu menjadikan tanggal 15 tersebut menjadi hari yang istimewa dari yang lainnya. Begitu pula yang hendak memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka silakan melakukannya. Akan tetapi janganlah menjadikan puasa tanggal 15 tersebut menjadi puasa yang istimewa lebih dari yang lainnya. Puasa pada tanggal tersebut hanyalah ikutan dari puasa lainnya.

Intinya, tidaklah tepat mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan shalat malam. Begitu pula tidaklah tepat mengistimewakan hari nishfu Sya’ban (15 Sya’ban) dengan puasa khusus. Semua yang dilakukan orang awam pada malam tersebut atau siang harinya, semuanya adalah amalan yang tidak ada tuntunan dan perlu diperingatkan. Ibadah shalat dan puasa sudahlah cukup dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak perlu membuat-buat suatu amalan baru (yang tidak ada tuntunannya). Wallahu Ta’ala a’lam. [Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan, soal no. 156, urutan Asy Syamilah]

Renungan …

‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).

Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin(menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah masuk pada keumuman malam, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3: 29).

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

Baca pembahasan lainnya di Rumaysho.com mengenai malam Nishfu Sya’ban:

  1. Meninjau ritual malam Nishfu Sya’ban.
  2. Kritik hadits malam Nishfu Sya’ban.
  3. Kekeliruan di malam Nishfu Sya’ban.
  4. Amalan keliru di bulan Sya’ban.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 8 Sya’ban 1433 H

www.rumaysho.com

Satu Celupan Melupakan Segalanya

Satu Celupan Melupakan Segalanya

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :

[arabic-font]حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ[/arabic-font]

 

Amr an-Naqid menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hammad bin Salamah memberitakan kepada kami dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan didatangkan penduduk neraka yang ketika di dunia adalah orang yang paling merasakan kesenangan di sana. Kemudian dia dicelupkan di dalam neraka sekali celupan, lantas ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku!’. Dan didatangkan pula seorang penduduk surga yang ketika di dunia merupakan orang yang paling merasakan kesusahan di sana kemudian dia dicelupkan ke dalam surga satu kali celupan. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kesusahan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku, aku belum pernah merasakan kesusahan barang sedikit pun. Dan aku juga tidak pernah melihat kesulitan sama sekali.’.” (HR. Muslim dalam Kitab Shifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Naar)

Hadits yang agung ini menyimpan banyak pelajaran berharga, di antaranya :

  1. Iman kepada hari kiamat dan meyakini bahwa dunia adalah sementara
  2. Iman akan adanya kebangkitan setelah kematian
  3. Iman bahwasanya setiap orang akan mendapatkan pembalasan atas amalnya di dunia, apabila baik maka baik pula balasannya demikian pula sebaliknya
  4. Iman kepada surga dan neraka dan bahwasanya surga merupakan negeri kebahagiaan dan neraka adalah negeri kesengsaraan
  5. Kenikmatan dan kesusahan di dunia tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan apa yang terjadi di akhirat
  6. Hadits ini menunjukkan bahwa kesenangan dunia bukanlah tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya
  7. Hadits ini menunjukkan bahwa bisa jadi orang-orang kafir itu hidup dalam keadaan serba mewah dan nikmat di dunia namun di akhirat mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali siksa di neraka, wal ‘iyadzu billah
  8. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang meninggal dalam keadaan beriman meskipun imannya hanya sebesar  biji sawi maka ia pasti masuk ke dalam surga
  9. Hadits ini menunjukkan bahwa Adam ‘alaihis salam adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah ta’ala
  10. Hadits ini menunjukkan bahwa kenikmatan yang ada di surga bukan main nikmatnya sehingga sekali celupan saja bisa melupakan segala kesusahan hidup di dunia
  11. Hadits ini menunjukkan bahwa kesengsaraan di neraka bukan main mengerikan dan menyakitkan sehingga sekali celupan di dalamnya bisa melupakan segala tetek bengek kesenangan dunia entah yang berwujud harta, kedudukan atau yang lainnya
  12. Hadits ini menunjukkan bolehnya bersumpah untuk menekankan sesuatu tanpa diminta sebelumnya
  13. Hadits ini menunjukkan bahwa bersumpah adalah dengan nama Allah bukan dengan nama makhluk
  14. Hadits ini juga menunjukkan penetapan sifat rububiyah Allah
  15. Hadits ini menunjukkan keadilan Allah kepada hamba-hamba-Nya
  16. Kesenangan dan kesusahan di dunia adalah hal yang biasa, namun yang terpenting adalah bagaimana cara menyikapinya; apakah dengan kesusahan itu dia bersabar dan apakah dengan kesenangan itu dia mau bersyukur kepada-Nya atau tidak
  17. Dunia adalah negeri cobaan dan tempat untuk beramal sedangkan akhirat adalah negeri pembalasan
  18. Iman kepada perkara gaib dan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan wahyu dari Allah ta’ala
  19. Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah untuk manusia
  20. Hadits ini merupakan mukjizat yang dimiliki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau mengabarkan sesuatu yang belum terjadi di dunia
  21. Di dalamnya juga terkandung khauf (takut) dan roja’ (harap).Takut akan neraka dan berharap untuk masuk ke dalam surga
  22. Hadits ini juga menunjukkan betapa lemahnya akal manusia sehingga gara-gara sebuah kejadian saja dia bisa melupakan segala-galanya
  23. Hadits ini menunjukkan bahwa keadaan yang sangat menyenangkan bisa membuat orang lupa akan kesusahan yang pernah dialaminya
  24. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kesusahan dan kesulitan yang amat sangat dapat membuat orang lupa akan kesenangan yang pernah dirasakannya
  25. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kesenangan dunia ini adalah kesenangan yang semu dan menipu
  26. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kesenangan di surga adalah kesenangan yang sejati dan hakiki
  27. Hadits ini juga mengandung dorongan bagi para mujahid untuk bersungguh-sungguh dalam berperang di jalan-Nya tanpa perlu merasa khawatir akan luka yang akan mereka derita
  28. Hadits ini juga mengandung dorongan kepada para da’i agar terus mengajak manusia ke jalan-Nya meskipun orang-orang sedemikian keras memusuhi dakwahnya
  29. Hadits ini juga mengandung dorongan kepada para penuntut ilmu agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu meskipun banyak hambatan yang dijumpainya karena sesungguhnya menuntut ilmu agama merupakan jalan menuju surga
  30. Hadits ini juga mengandung dorongan bagi anak agar bersungguh-sungguh dalam berbakti kepada orang tuanya karena ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tuanya
  31. Hadits ini juga mengandung dorongan kepada para isteri untuk berbakti kepada suaminya karena keridhaan suami kepadanya merupakan salah satu sebab masuk ke dalam surga
  32. Hadits ini juga mengandung peringatan kepada orang-orang yang menyimpan kesombongan di dalam dirinya karena kesombongan merupakan sebab masuk ke dalam neraka
  33. Hadits ini juga mengandung peringatan yang sangat keras bagi para penyeru kekafiran semacam Jaringan Islam Liberal dan sebagainya karena kekafiran mereka pada akhirnya akan menyeret mereka ke dalam neraka
  34. Hadits ini juga mengandung ancaman bagi para pelaku maksiat agar tidak meneruskan maksiat dan segera bertaubat dengan tulus kepada Allah ta’ala karena maksiat akan mendatangkan murka-Nya
  35. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan mempelajarai tauhid dan mengetahui seluk beluk syirik dan kekafiran
  36. Hadits ini juga mengandung peringatan kepada orang-orang munafik yang di dunia menampakkan diri sebagai orang yang mendukung Islam namun pada hakikatnya mereka ingin menghancurkan Islam dari dalam, sebab orang munafik adalah penghuni kerak neraka yang paling bawah
  37. Hadits ini menunjukkan bahwa kenikmatan yang ada di surga itu bertingkat-tingkat
  38. Hadits ini juga menunjukkan bahwa siksa di dalam neraka juga bertingkat-tingkat
  39. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah diutus untuk memberikan kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan (lihat QS. al-Furqan : 56)
  40. Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

Oleh : Abu Mushlih

Puasa di Bulan Rajab?

Puasa di Bulan Rajab?

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shobihi ajma’in.

Sebagian orang sempat menganjurkan bahwa banyaklah puasa pada bulan Rajab. Ada pula yang menganjurkan untuk berpuasa di awal-awal bulan Rajab. Apakah betul anjuran seperti ini ada dasarnya? Silakan ditelusuri dalam pembahasan singkat berikut ini. Semoga bermanfaat.

Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka ia menjawab : Aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpuasa sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa seluruh bulan. Namun suatu saat beliau tidak berpuasa sampai kami berkata : Nampaknya beliau tidak akan puasa sebulan penuh.” (HR. Muslim dalam kitab Ash Shiyam. An Nawawi membawaknnya dalam Bab Puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di selain bulan ramadhan)

Sebagian orang agak sedikit bingung dalam menyikapi hadits di atas, apakah di bulan Rajab harus berpuasa sebulan penuh ataukah seperti apa?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ’Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ’Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

[arabic-font]لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ[/arabic-font]

Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad mengatakan, Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.”

Imam Asy Syafi’i mengatakan, ”Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.”

Beliau berdalil dengan hadits ’Aisyah yaitu ’Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut.

  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib yaitu amalan puasa Ramadhan).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Kesimpulan: Tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.

Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.

Semoga pembahasan singkat ini bermanfaat bagi pengunjung Rumaysho.com sekalian. Semoga Allah selalu memberkahi kita di bulan Rajab ini.

Nantikan penjelasan selanjutnya mengenai perayaan Isro’ Mi’roj. Semoga Allah mudahkan.

 

Artikel dari  www.rumaysho.com

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Bukan Orang Yang Gemar Bersenang-Senang

Bukan Orang Yang Gemar Bersenang-Senang

[arabic-font]عن معاذ ابن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعث به إلى اليمن قال له إياك والتنعم فإن عباد الله ليسوا بالمتنعمين[/arabic-font]

Dari Mu’adz bin Jabal, ketika ia diutus ke Yaman, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berpesan kepadanya: “Tinggalkanlah sifat gemar bersenang-senang (at tana’um). Karena hamba Allah yang sejati bukanlah orang yang gemar bersenang-senang” (HR. Ahmad 5/243, 244, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin 279, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 5/155)

Derajat Hadits

Al Mundziri berkata: “Semuanya perawi yang dipakai Imam Ahmad dan semuanya tsiqah” (At Targhib Wat Tarhib, 3/170). Al Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah” (Majma’ Az Zawaid, 10/253). Penilaian beliau berdua diamini oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (1/688).

Faidah Hadits

  1. Tercelanya sifat at tana’um, yaitu gemar bersenang-senang dan gemar bernikmat-nikmat dengan hal-hal yang sifatnya duniawi.
  2. Ali Al Qari rahimahullah  berkata: “at tana’um adalah berlebihan dalam memuaskan nafsu dalam bentuk selalu berkeinginan merasakan nikmat secara berlebihan, serta selalu merasa tidak pernah puas” (Mirqatul Mafatih, 8/3295).
  3. At tana’um  adalah lawan dari zuhud.
  4. Bukan berarti bersenang-senang itu terlarang, namun yang demikian bukan lah hal yang selalu dicari dan dikerjakan seorang hamba Allah sejati.
  5. Ali Al Qari rahimahullah  menjelaskan hadits ini berkata: “Sesungguhnya hamba Allah yang ikhlas bukanlah orang yang gemar bersenang-senang. Bahkan sifat demikian adalah ciri khas orang kafir, para penggemar maksiat, orang yang lalai dan orang yang jahil. Sebagaimana firman Allah :[arabic-font span=”yes”]ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ[/arabic-font] يَعْلَمُونَ‘Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)‘ (QS. Al Hijr: 3)
    dan juga firman-Nya:[arabic-font]وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ[/arabic-font]‘Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka‘ (QS. Muhammad: 12),
    juga firman-Nya:

    [arabic-font]إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ[/arabic-font]

    Sesungguhnya mereka (penghuni neraka) sebelum itu hidup bermewahan‘ (QS. Al Waqi’ah: 45)” (Mirqatul Mafatih, 8/3295).

  6. Senada dengan beliau, Al Munawi rahimahullah juga berkata: “Sesungguhnya hamba Allah yaitu orang-orang tertentu yang berhiaskan dengan kemuliaan ubudiyah, bukanlah orang yang suka bersenang-senang. Karena bersenang-senang dengan hal yang mubah, walaupun itu boleh, akan membuat seseorang lalai mengingat Allah dan engga bertemu dengan-Nya” (At Taisir Syarh Jami’ Ash Shaghir, 1/402).
  7. Lihatlah Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, begitu zuhudnya sampai-sampai beliau memandang bahwa makan daging itu at tana’um. Suatu kala ketika membeli daging, beliau berkata: “Duhai kemana perginya kebaikan“. Lalu membaca ayat:[arabic-font span=”yes”]أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِى حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُم بِهَا[/arabic-font]“Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya” (QS. Al Ahqaf: 20)
    Ibnu Bathal berkata: “Umar Radhiallahu’anhu berdalil dengan ayat tersebut bahwa bersenang-senang di dunia dan  bernikmat-nikmat dengan segala kebaikan duniawi akan banyak mengurangi kebaikan akhirat” (Syarh Shahih Bukhari Libni Bathal, 10/157).
  8. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Ketahuilah ada 3 bahaya dari sikap gemar bersenang-senang”. Secara ringkas, 3 hal itu adalah:
    1. Dunia itu darut taklif (tempat manusia menjalankan tugas-tugas dari Allah) bukan darur raahah (tempat bersantai dan bersenang-senang). Jika seseorang disibukkan dengan bersenang-senang di dunia pasti ia kurang bisa memenuhi tugas-tugasnya.
    2. Bersenang-senang dalam hal makan yaitu terlalu banyak makan, membuat perut kekenyangan akibatnya malas dan akhirnya lalai.
    3. Barangsiapa yang sudah terkait hatinya dengan kesenangan dunia, akan sulit sekali melepasnya. (Kasyful Musykil, 1/92)
  9. Seorang hamba sejati itu sibuk dalam kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:[arabic-font span=”yes”]مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ[/arabic-font]“Salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi no. 2317, di hasan kan Al Nawawi dalam Al Arba’un).
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:[arabic-font]احرص على ما ينفعك واستعن بالله . ولا تعجز[/arabic-font]“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah, serta janganlah malas” (HR. Muslim no.2664)
  10. Seorang hamba sejati senantiasa sibuk dalam kebaikan sampai ajal menjemputnya. Mi’sar bin Kiddam rahimahullah berkata [arabic-font span=”yes”]لاَ تَقْعُدُوا فُراغًا فَإِنَّ اْلمَوْتَ يَطْلُبُكُمْ[/arabic-font]“Janganlah kalian duduk untuk bersantai-santai karena kematian sedang mencarimu” (Thabaqat Kubra Lis Sya’rani, 1/49).
    Seorang lelaki dari Khurasan datang untuk bertanya-tanya kepada Imam Ahmad rahimahullah :[arabic-font]قِيْلَ لِلإمَام أَحْمَدَ: مَتىَ يَجِدُ اْلعَبْدُ طَعْمَ الرَّاحَةِ ؟ فَقَالَ: عِنْدَ أّوَّلِ قَدَمٍ يَضَعُهاَ فِيْ اْلجَنَّةِ.[/arabic-font]Imam Ahmad ditanya: “Kapan seorang hamba itu beristirahat (dari sibuk berbuat kebaikan)?”. Imam Ahmad menjawab: “Ketika pertama kali telapak kakinya menginjak surga”. (Thabaqat Hanabilah, 1/293)

     

    artikel : http://kangaswad.wordpress.com/

Pertanyaan Seputar Definisi serta Jumlah Nabi dan Rasul

Pertanyaan Seputar Definisi serta Jumlah Nabi dan Rasul

Pertanyaan:

Berapakah jumlah Nabi dan Rasul, apakah ada hadits shohih tentang hal itu? Apakah perbedaan antara Nabi dengan Rasul?

(Pertanyaan disampaikan pada Kajian Sabtu malam di Masjid Polsek Besuki, 25 Desember 2010)

Jawaban Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman


 

A. Setiap Rasul adalah Nabi, namun Tidak Sebaliknya

Para Ulama’ menjelaskan bahwa seorang Rasul adalah pasti seorang Nabi, namun tidak sebaliknya. Seorang Nabi belum tentu seorang Rasul. Sehingga, jumlah Nabi lebih banyak dibandingkan jumlah Rasul.

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam ketika menyatakan: “Tidak ada Nabi sepeninggalku”, hal itu berarti bahwa tidak mungkin ada Nabi dan Rasul sepeninggal Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.

B. Perbedaan antara Nabi dengan Rasul

Terdapat beberapa definisi tentang perbedaan Nabi dan Rasul, namun semuanya sepakat bahwa Nabi adalah seorang laki-laki yang mendapatkan wahyu dari Allah. Beberapa definisi perbedaan antara Nabi dan Rasul itu di antaranya:

  1. Nabi diberi wahyu berupa syariat tapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada yang lain, sedangkan Rasul diperintahkan untuk menyampaikan pada yang lain (definisi ini adalah dari Jumhur Ulama’, juga disebutkan dalam Fatwa alLajnah adDaaimah).
  2. Rasul diutus dengan membawa syariat baru sedangkan Nabi menguatkan / melanjutkan syariat dari Rasul sebelumnya (definisi ini dijelaskan oleh asy-Syaukaany dan al-Aluusy).
  3. Rasul diutus kepada kaum yang menentang, sedangkan Nabi diutus kepada kaum yang sudah tunduk dengan syariat dari Rasul sebelumnya (pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).

Dalil pendapat ke-3 ini adalah:

[arabic-font]إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ[/arabic-font]

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintah memelihara kitab – kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya….(Q.S alMaidah: 44).

C.  Rasul Pertama adalah Nuh

Rasul pertama adalah Nuh ‘alaihissalam, sesuai dengan hadits tentang syafaat pada hari kiamat, setelah mendatangi Adam, orang-orang mendatangi Nuh untuk meminta syafaat dengan mengatakan:

[arabic-font]يَا نُوحُ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ[/arabic-font]

Wahai Nuh, engkau adalah Rasul pertama (yang diutus) untuk penduduk bumi (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Dalam lafadz lain, disebutkan bahwa Nabi Adam sendiri yang menyatakan bahwa Nuh adalah Rasul pertama:

[arabic-font]فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ يَا آدَمُ أَمَا تَرَى النَّاسَ خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّنَا حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكَ وَيَذْكُرُ لَهُمْ خَطِيئَتَهُ الَّتِي أَصَابَهَا وَلَكِنْ ائْتُوا نُوحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَيَأْتُونَ نُوحًا[/arabic-font]

Maka orang-orang mendatangi Adam dan berkata: Wahai Adam, tidakkah engkau tahu (bagaimana keadaan manusia). Allah telah menciptakanmu dengan TanganNya, dan Allah (memerintahkan) Malaikat bersujud kepadamu dan Allah mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu. Berilah syafaat kami kepada Rabb kami sehingga kami bisa mendapatkan keleluasaan dari tempat kami ini. Adam berkata: aku tidak berhak demikian, kemudian Adam menceritakan kesalahan yang menimpanya. (Adam berkata): akan tetapi datanglah kepada Nuh, karena ia adalah Rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi. Maka orang-orang kemudian mendatangi Nuh….(H.R alBukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).

Ini adalah riwayat yang shohih, karena disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Sedangkan riwayat Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa Adam adalah Rasul pertama adalah riwayat yang lemah, karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama: Ibrahim bin Hisyam bin Yahya al-Ghossany yang dinyatakan oleh Abu Zur’ah sebagai pendusta, Abu Hatim tidak menganggapnya tsiqoh, sedangkan atThobarony menyatakan tsiqoh.

 

D. Jumlah Nabi dan Rasul

Berdasarkan hadits yang shohih, jumlah Nabi adalah 124 ribu, sedangkan jumlah Rasul adalah 315 orang.

Syaikh al-Albany menjelaskan bahwa hadits yang menunjukkan jumlah Rasul tersebutshahih li dzaatihi (tanpa penguat dari jalur lain), sedangkan hadits yang menunjukkan jumlah Nabi adalah shohih li ghoirihi (masing-masing jalur memiliki kelemahan, namun jika dipadukan menjadi shahih).

Hadits tentang jumlah Rasul tersebut adalah:

[arabic-font]كان آدم نبيا مكلما ، كان بينه و بين نوح عشرة قرون ، و كانت الرسل ثلاثمائة و خمسة عشر[/arabic-font]

Adam adalah Nabi yang diajak bicara. Antara ia dengan Nuh terdapat 10 abad. Jumlah Rasul adalah 315 orang (H.R Abu Ja’far ar-Rozzaaz dan selainnya, dishahihkan Syaikh al-Albany dalam Silsilah al-Ahaadiits as-Shohiihah)

Hadits tentang jumlah Nabi diriwayatkan dari Sahabat Abu Dzar dari 3 jalur periwayatan, yang Syaikh al-Albany menyatakan shohih li ghoirihi.

Wallaahu a’lam bisshowaab

http://kaahil.wordpress.com/

Syarah Hadits Arba’in #13

Syarah Hadits Arba’in #13

Diterjemahkan dari kitab Fathul Qowwiy Al Matiin fi Syarh Al Arba’iin wa tatimmah Al Khomsiin ([arabic-font span=”yes”]فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين[/arabic-font])

Karya Asy Syaikh Abdul Mushin ibn Hammad Al ‘Abbad Al Badr hafizhohullah

 

[arabic-font]

الحديث الثالث عشر

عن أبي حمزة أنس بن مالك رضي الله تعالى عنه خادم رسول الله صلى الله عليه وسلم، عن النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: “لا يُؤمنُ أحدُكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحبُّ لنفسه” رواه البخاري ومسلم.

[/arabic-font]

 

Hadits ke 13

Dari Abu Hamzah Anas ibn Maalik radhiyallahu ta’ala anhu, pelayan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda : “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang dari kalian hingga dia mencintai kepada saudaranya dengan apa yang dia dicintai untuk dirinya.” HR Bukhari Muslim

[arabic-font]1 في هذا الحديث نفيُ كمال الإيمان الواجب عن المسلم حتى يحبَّ لأخيه المسلم ما يُحبُّ لنفسه، وذلك في أمور الدنيا والآخرة، ويدخل في ذلك أن يُعاملَ الناسَ بمثل ما يحبُّ أن يُعاملوه به، فقد جاء في صحيح مسلم (1844) عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما في حديث طويل: “فمَن أحبَّ أن يُزحزح عن النار ويُدخل الجنَّة، فلتأته منيَّتُه وهو يؤمن بالله واليوم الآخر، وليأت إلى الناس الذي يحبُّ أن يُؤتَى إليه”، وقال الله عزَّ وجلَّ: {وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ{[/arabic-font]
1. Dalam hadits ini terdapat peniadaan imaan yang wajib dari seorang muslim sampai dia mencintai saudaranya sesama muslim sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, dan hal ini berlaku untuk perkara dunia maupun akhirat, dan termasuk di dalamnya bermua’amalah (mempergauli) manusia sebagaimana dirinya dipergauli oleh manusia dengan cara yang disukai. Terdapat sebuah hadits shahih dari Muslim (1844) dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash radhiyallahu anhumaa dalam hadits yang panjang : “Maka barang siapa yang mencintai untuk dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke surga, maka hendaklah ketika kematian datang padanya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia mempergauli manusia sebagaimana dia suka dipergauli dengan cara tersebut“, Allah azza wa jalla berfirman : {Kecelakaan untuk orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila meneruma takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi}.

[arabic-font]2 قال الحافظ ابن رجب في جامع العلوم والحكم (1/306): “وحديث أنس يدلُّ على أنَّ المؤمنَ يَسرُّه ما يسرُّ أخاه المؤمن، ويريد لأخيه المؤمن ما يريده لنفسه من الخير، وهذا كلُّه إنَّما يأتي من كمال سلامة الصدر من الغلِّ والغِشِّ والحسد، فإنَّ الحسدَ يقتضي أن يكره الحاسدُ أن يفوقَه أحدٌ في خير، أو يساويه فيه؛ لأنَّه يُحبُّ أن يَمتاز على الناس بفضائله، وينفرد بها عنهم، والإيمان يقتضي خلافَ ذلك، وهو أن يشركه المؤمنون كلُّهم فيما أعطاه الله من الخير، من غير أن ينقص عليه منه شيء”، وقال (1/308): “وفي الجملة فينبغي للمؤمن أن يُحبَّ للمؤمنين ما يُحبُّ لنفسه، ويكره لهم ما يكره لنفسه، فإن رأى في أخيه المسلم نقصاً في دينه اجتهد في إصلاحه”.[/arabic-font]
2. Berkata Al Haafizh ibn Rajab dalam Jaamiq Al Uluum wal Hikam (1/306) : “Hadits Anas ini menunjukkan bahwa seorang mukmin itu senang jika sesuatu dapat membuat saudaranya mukmin senang, dan dia menginginkan pada saudaranya mukmin apa yang dia inginkan untuk dirinya berupa kebaikan. Dan ini semua hanyalah ada pada dada (jiwa) yang sempurna yang selamat dari dengki, suka menipu, hasad. Karena sesungguhnya hasad berkonsekuensi pada pemiliknya untuk membenci seseorang lebih dari dirinya dalam kebaikan, atau yang setara dengannya dalam hal tersebut. Karena hasad suka membeda-bedakan manusia berdasarkan keutamaannya, dan memisahkan mereka dari yang lainnya. Sedangkan iman itu berkonsekuensi yang berseberangan dari hal itu, yaitu agar seluruh kaum mukminiin semuanya mendapatkan apa yang Allah berikan kepadanya berupa kebaikan, dengan tanpa berkurangnya sesuatupun dari dirinya. (maksudnya mendapatkan semua kebaikan yang dia dapat tanpa terkecuali -pent)”. Al Hafizh juga berkata (1/308) : ” Dalam kalimat tersebut seharusnya seorang mukmin mencintai mukmin yang lain apa yang dia cintai pada dirinya sendiri, dan membenci pada mereka apa yang dia benci pada dirinya sendiri, karena dia melihat pada saudaranya mukmin kekurangan dalam agamanya maka dia berusaha untuk memperbaikinya.

[arabic-font]3 مِمَّا يُستفاد من الحديث:
1 أن يحبَّ المسلمُ لأخيه المسلم ما يحبُّ لنفسه، ويكره له ما يكره لها.
2 الترغيب في ذلك؛ لنفي كمال الإيمان الواجب عنه حتى يكون كذلك.
3 أنَّ المؤمنين يتفاوتون في الإيمان.
4 التعبير ب”أخيه”فيه استعطاف للمسلم لأنْ يحصل منه لأخيه ذلك.[/arabic-font]
3. Faedah Hadits
1. Agar seorang muslim mencintai saudaranya yang muslim sebagaimana apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri, dan membenci jika saudaranya mendapatkan apa yang dia benci untuk dirinya.
2. Anjuran untuk hal tersebut; karena adannya peniadaan kesempurnaan imaan yang waajib dari dirinya sampai dia berlaku demikian.
3. Bahwa kaum mukminin bertingkat-tingkat dalam keimanan.
4. Pengungkapan kata “saudaranya” di dalam hadits tersebut dimaksudkan kepada orang muslim agar dapat menghasilkan rasa persaudaraan kepada saudaranya.