by admin | Jul 19, 2017 | Kisah, Pilihan
WAHAI AYAH BUNDA… WAHAI PARA GURU…
Apakah engkau mengetahui dan menyadari bahwa engkau adalah seorang pendidik? Engkau sedang menjalani profesi termulia yang ada di muka bumi ini sebagaimana profesi seluruh Nabi Alaihimus salam yang diutus untuk mendidik manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan bahwa tujuan diutusnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah unntuk melaksanakan ta’lim(pendidikan)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus seorang Rosul (Muhammad) ditengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri. Yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al Qur’an) dan hikmah (sunnah) meskipun sebelmnya mereke benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS: Ali Imran:164)
Engkaulah pewaris Nabi alaihis shalatu wassalam dalam ilmu dan amalnya jika engkau ikhlas dan tulus dalam mendidik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“sesungguhnya para Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. siapa yang mengambilnya sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmizi No.2682 dari sahabat Abu Darda Radhiallahu’anhu dengan derajat shahih)
KARAKTER YANG HARUS DIMILIKI OLEH SETIAP PENDIDIK
Ikhlas
Inilah prinsip pertama yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu mengikhlaskan ilmu dan amal untuk Allah semata. Betapa banyak ilmu yang bermanfaat dan amalan yang mulia untuk umat, tetapi pemiliknya tidak mengikhlaskan ilmu dan amal untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagia tujuan mereka untuk meraih kehormatan atau kedudukan semata.
Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya , “… dan seorang laki-laki yang belajar dan mengajarkan ilmu serta membaca Al Qur’an lalu ia didatangkan dan Allah mengingatkan nikmat-nikmat-Nya (kepadanya) dan dia mengakuinya. Allah berfirman, ‘apa yang kamu lakukan terhadapnya?’, dia berkata ‘saya belajar ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an (ikhlas) demi engkau’. Allah berfirman ‘kamu dusta. Akan tetapi kamu belajar ilmu agar dikatakan seorang yang alim. Kamu membaca Al Qur’an supaya dikatakan qaari. Dan (itu semua) telah diucapkan (padamu)’. Setelah itu diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam api neraka…” (HR. Muslim No.1905 dari Sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu)
Jujur
Jujur adalah mahkota yang ada di atas kepala seorang pendidik. Jika sifat tersebut luput darinya manusia tak akan lagi mempercayai ilmu dan pengetahuannya. Anak-anak sangatlah mempercayai dan menerima setiap apa yang disampaikan oleh pendidiknya. Jika seorang anak menemukan kedustaan pendidiknya di sebagian perkara, hal itu secara otomatis akan berpengaruh kepadanya. Kewibawaannya akan jatuh di hadapan anak-anaknya. Jujur adalah kunci keselamatan seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Allah telah memuji orang-orang yang jujur dan memerintahkan setiap mukmin agar menjadi seperti mereka dengan firman-Nya yang artinya, “wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At Taubah:119)
Serasi antara Ucapan dan Perbuatan
Allah ta’ala berfirman yang artinya “wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff:2-3). Seorang pendidik adalah orang yang paling membutuhkan konsistensi dalam hal ini karena dia adalah suri tauladan yang ucapan dan perbuatannya senantiasa menjadi panutan anak didiknya. Bila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan terhadap sesuatu, beliaulah yang pertama kali melakukannya.
Bersikap Adil dan Tidak Berat Sebelah
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah:8). Para pendidik akan dihadapkan dengan banyak permasalahan dari anak-anak didiknya. Tidak ada tempat untuk mengutamakan sebagian anak didik diatas sebagian yang lain.
Berakhlak Mulia dan Terpuji
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang paling suci dari segi ruh dan jiwa. Beliau adalah sosok yang memiliki akhlak yang sangat agung. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya “dan sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam:4)
Anak-anak sangat membutuhkan sifat lembut, santun, sabar, bijak, ramah dan perlakuan yang baik dari para pendidik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh abu darda radhiallahu’anhu “tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak pada hari kiamat daripada akhlah yang baik”. (HR. Abu Daud no.4799 dengan derajat shahih)
Rendah Hati
Kerendahan hati yang dimiliki oleh seorang pendidik akan menambah kehormatan dan kewibawaannya, bukan sebaliknya. Seorang pendidik yang rendah hati akan dicintai oleh anak-anak didik mereka. Sebaliknya sikap takabbur (sombong) akan menjauhkan anak-anak didik dari seorang pendidik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku supaya kalian bersikap tawadhu (rendah hati) sehingga tidak ada yang membanggakan dirinya diatas yang lain. Tidak pula menzalimi yang lain.” (HR. Muslim no.2588 dari Sahabat Iyadh bin Himar radhiallahu’anhu)
Sabar dan Mampu Mengontrol Emosi
Sabar adalah kedudukan yang sangat tinggi dan tak akan mungkin di gapai, kecuali oleh mereka yang memiliki semangat yang tinggi dan jiwa yang suci. Ia membutuhkan adaptasi dan latihan yang cukup panjang. Hilangnya kesabaran bisa menerjunkan seorang pendidik ke dalam jurang permasalahan yang demikian dalam, terlebih proses pembelajaran di dalam kelas. Oleh karena itu seorang pendidik sangatlah dituntut untuk menghiasi dirinya dengan sikap sabar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “bukanlah orang yang kuat yang selalu menang dalam berkelahi. Akan tetapi, orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Mutafaq alaihi dari Sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu)
Itulah diantara karekteristik yang seharusnya dimiliki oleh seorang pendidik, baik dia bertindak sebagai orang tua maupun guru. Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan kita taufik untuk dapat menjadi pendidik sukses yang dapat menebar banyak manfaat kepada orang lain. Aamiin.
(Disarikan dari sebuah buku berjudul “Begini seharusnya menjadi guru” buah karya Fu’ad bin Abdul Aziz Syalhub hafidzahullah, penerbit Darul Haq, cet. VII, tahun 2014)
by admin | Jul 19, 2017 | Kisah, Pilihan
Beliau rahimahullah berkata dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i,
Aku melihat pemilik ilmu hidupnya mulia walau ia dilahirkan dari orangtua terhina.
Ia terus menerus menerus terangkat hingga pada derajat tinggi dan mulia.
Umat manusia mengikutinya dalam setiap keadaan laksana pengembala kambing ke sana sini diikuti hewan piaraan.
Jikalau tanpa ilmu umat manusia tidak akan merasa bahagia dan tidak mengenal halal dan haram.
Diantara keutamaan ilmu kepada penuntutnya adalah semua umat manusia dijadikan sebagai pelayannya.
Wajib menjaga ilmu laksana orang menjaga harga diri dan kehormatannya.
Siapa yang mengemban ilmu kemudian ia titipkan kepada orang yang bukan ahlinya karena kebodohannya maka ia akan mendzoliminya.
Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diraih kecuali dengan enam syarat dan akan aku ceritakan perinciannya dibawah ini:
Cerdik, perhatian tinggi, sungguh-sungguh, bekal, dengan bimbingan guru dan panjangnya masa.
Setiap ilmu selain Al-Qur’an melalaikan diri kecuali ilmu hadits dan fikih dalam beragama.
Ilmu adalah yang berdasarkan riwayat dan sanad maka selain itu hanya was-was setan.
Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru.
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya.
Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,
Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya.
Demi Allah hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.
Bila keduanya tidak ada maka tidak ada anggapan baginya.
Ilmu adalah tanaman kebanggaan maka hendaklah Anda bangga dengannya. Dan berhati-hatilah bila kebanggaan itu terlewatkan darimu.
Ketahuilah ilmu tidak akan didapat oleh orang yang pikirannya tercurah pada makanan dan pakaian.
Pengagum ilmu akan selalu berusaha baik dalam keadaan telanjang dan berpakaian.
Jadikanlah bagi dirimu bagian yang cukup dan tinggalkan nikmatnya tidur
Mungkin suatu hari kamu hadir di suatu majelis menjadi tokoh besar di tempat majelsi itu.
***
Disadur dari kitab Kaifa Turabbi Waladan Shalihan (Terj. Begini Seharusnya Mendidik Anak), Al-Maghrbi bin As-Said Al-Maghribi, Darul Haq.
Artikel Muslimah.or.id
Sumber: https://muslimah.or.id/2739-nasehat-emas-imam-asy-syafi%E2%80%99i.html
by admin | Mar 14, 2013 | Akhlaq, Download Kajian Nurussunnah, Kisah, MP3 kajian, Pilihan
Nama asli Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Lengkapnya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin Al ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’. Nasab Imam Syafi’i sampai pada pada Hasyim bin Al Muthollib bin ‘Abdu Manaf dan bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada ‘Abdu Manaf.
Imam Syafi’i dilahirkan di Ghaza tahun 150 H. Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim dan fakir. Sejak usia belia, Imam Syafi’i sudah menghafalkan Al Qur’an. Lalu beliau menekuni hadits. Kemudian beliau sibuk memperdengarkan hadits, menulis, menyusun dan menghafalnya.
Imam Syafi’i belajar ilmu agama pada ulama fikih dan hadits di Makkah. Beliau mengambil ilmu fikih dari Muslim bin Kholid Az Zanjiy. Beliau juga melakukan perjalanan ke Imam Malik dan membaca kitab Al Muwatho’ di hadapan beliau. Beliau juga melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Irak dan mengambil fikih Abu Hanifah dari muridnya, Muhammad bin Al Hasan dan beliau mulai menelaah dengan pendapat yang pernah ia pelajari.
Beliau merupakan sosok luar biasa dalam sejarah perjalanan islam, kecerdasan dan ketulusanya mampu menjadikan dirinya sebagai rujukan ilmu, sebagai Imam salah satu madzhab Fiqih.
Simak MP3 kajian islam dari perjalanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu yang telah disampaiakan oleh Ustad Rizal Zuliar Putrananda dimasjid Nurussunnah Semarang, semoga Alloh memberikan Taufik kepada kita semua.
Download :
[download id=”140″]
by admin | Jan 13, 2013 | Download Kajian Nurussunnah, Kisah, MP3 kajian
Laksana api yang tak mau padam semangat seorang lelaki berketurunan bugis (suku di sulawesi,Indonesia) memperjuangkan hidupnya didunia ini, walau sudah divonis oleh seorang dokter bahwa dia tidak akan bertahan melainkan hanya untuk beberapa waktu saja, namun apa yang terjadi dari kegigihanya bukanlah hanya dapat bertahan hidup melawan penyakit yang dideritanya hingga kini bahkan dia dapat mewujudkan satu persatu cita-cita yang mungkin mustahil diraih oleh seseorang dengan keadaan sepertinya.
Adalah Ammar, seseorang yang menempuh pendidikan s2 disebuah universitas timur tengah yang telah menorehkan beberapa prestasi, dia dapat menghafal Al qur’an pada waktu masih belia hanya dengan kurun waktu 2 tahun, lulus dengan predikat yang baik (cum laude).
Perjalanan hidup Ammar memang luar biasa, yang dapat membuat kita kagum dan merasa rendah sebagai hamba Alloh yang diciptakan sehat tanpa cacat seperti halnya Ammar.
Simak cerita perjalanan pemuda ini yang telah disampaikan oleh ust. Fariq Ghasim An nuz yang telah bertemu dan mengunjunginya di negri timur tengah tempat ammar bugis ini tinggal:
by admin | Oct 11, 2012 | Kisah, Pilihan
Nama dan Nasabnya
Nama lengkapnya adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn dari keturunan Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir.
Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalarn kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak rnengkhianati kaurn muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk rnenghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan Muhammad.
Masa Pernikahannya
Sayyidah Shauiyyah bin Huyay r.a. telah dua kali menikah sebelurn dengan Rasulullah. Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Penaklukan Khaibar dan Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam.. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian beliau bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. rnemilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan kemudian diterirnanya.
Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas r a. berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah merneluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mcngungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa cngkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta Hafshah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsrnan bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia di sisiNya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
http://ahlulhadist.wordpress.com
by admin | Oct 11, 2012 | Kisah, Pilihan, Umum
Siapa yang tak mengenal namanya, sekuntum bunga di tengah Bani Hasyim. Tumbuh di taman yang sarat cahaya kenabian, disunting pemuda yang memiliki kemuliaan. Tebaran ilmunya menghiasi sejarah perjalanan manusia.
Dialah putri seorang nabi, yang terlahir bertepatan saat kaum Quraisy membangun kembali bangunan Ka’bah. Fathimah bintu Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim Al-Hasyimiyah x. Ibunya seorang wanita yang tak asing lagi kemuliaannya, Khadijah bintu Khuwailid x. Dia lahir menjelang diangkatnya sang ayah sebagai nabi.
Dia tumbuh di bawah naungan ayah bundanya. Dia teramat dicintai dan dimuliakan oleh ayahnya.
Berangkat dewasa hingga memasuki 15 tahun usianya. Kala itu, datang seorang pemuda ke hadapan Rasulullah r, dengan sebuah hasrat memetiknya. Bertanya Rasulullah r kepadanya, “Apa yang engkau miliki sebagai mahar?” “Aku tidak memiliki sesuatu pun,” jawab pemuda itu. “Di mana baju besi yang pernah kuberikan padamu?” tanya Rasulullah r lagi. “Masih ada padaku,” jawabnya. “Berikan itu padanya,” kata Rasulullah r.
Dengan mahar itulah, empat bulan setelah berpengantin dengan ‘Aisyah x, Rasulullah r menikahkan sang pemuda, ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu anhu, dengan putrinya, Fathimah x. Saat itu, ‘Ali bin Abi Thalib z berusia 21 tahun 5 bulan sementara Fathimah menginjak 15 tahun 5,5 bulan usianya. Sebelum itu, Abu Bakr Ash-Shiddiq z pernah pula berniat meminang Fathimah x, begitu pun ‘Umar bin Al Khaththab z. Namun Rasulullah r tak menyambut pinangan mereka berdua dan menolaknya dengan halus.
Mempelai pengantin mulia yang begitu bersahaja. Tak ada pada mereka selain hamparan dari kulit dan bantal kulit yang berisi sabut. Berjalan seiring dalam rumah tangga yang begitu bersahaja. Mengambil air, menggiling tepung, mereka lakukan dengan kedua tangan mereka sendiri, hingga suatu saat mereka rasakan beratnya. Dada ‘Ali terasa sakit, tangan Fathimah melepuh karenanya. ‘Ali pun mengusulkan untuk meminta seorang pembantu kepada Rasulullah r yang saat itu Allah karuniai para tawanan.
Fathimah x datang kepada ayahnya. “Apa yang menyebabkanmu datang kemari, putriku?” tanya Rasulullah r ketika itu. Rasa malu menyelimuti Fathimah untuk mengutarakan maksudnya meminta seorang pembantu. Akhirnya dia hanya berucap, “Aku datang hanya untuk mengucapkan salam padamu”. Pulanglah ia kepada suaminya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya ‘Ali. “Aku merasa malu untuk meminta padanya,” jawab Fathimah. Lalu mereka berdua datang bersama ke hadapan Rasulullah r untuk menyampaikan keinginan mereka. Namun ternyata beliau menolaknya. “Demi Allah, aku tidak akan memberikannya pada kalian berdua sementara aku biarkan ahlus shuffah kelaparan karena aku tidak memiliki apa pun untuk kuinfakkan pada mereka. Aku akan menjual para tawanan itu dan menginfakkan hasilnya untuk mereka.” Kembalilah mereka berdua tanpa membawa apa yang mereka harapkan.
Saat mereka berbaring di tempat tidur, berselimut dengan selimut yang bila ditutupkan ke kepala terbuka kaki mereka, bila ditutupkan ke kaki terbukalah kepala mereka. Tiba-tiba datang Rasulullah r. Mereka berdua pun bergegas bangkit. “Tetaplah di tempat kalian!” kata Rasulullah r. Beliau berkata lagi, “Maukah kuberitahukan pada kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali.”
Betapa sang ayah yang mulia ini teramat mengasihi dan memuliakan putrinya. Bila sang putri datang, biasa Rasulullah r mengucapkan selamat datang padanya, menyambut dan menciumnya, lalu menggamit dan membimbing tangannya untuk didudukkan di tempat duduknya. Pun demikian sang putri memuliakan ayahnya. Bila sang ayah datang padanya, segera diucapkannya selamat datang kepadanya, seraya berdiri menyambut, menggamit tangannya dan mencium sang ayah. Duhai, kasih sayang yang kan terbaca setiap orang yang menyaksikannya.
Suatu ketika, ‘Ali bin Abi Thalib z berniat meminang putri Abu Jahl. Mendengar berita itu, Fathimah x datang mengadu kepada ayahnya. Naiklah Rasulullah r di atas mimbar. Setelah bertasyahud, beliau berkata, “Tidaklah aku mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku, merisaukanku apa pun yang merisaukannya, dan menyakitkan aku apa yang menyakitkannya.” Beliau berkata pula, “Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan putri musuh Allah di bawah seorang pria selama-lamanya.” Mendengar itu pun, Ali membatalkan pinangannya.
Dia pulalah yang mendapatkan kemuliaan di antara keluarga Rasulullah r, mendengar kabar dekatnya ajal beliau. Ketika beliau sakit menjelang wafat, Fathimah x datang menemui. Sang ayah menyambutnya dengan ucapan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya, lalu Fathimah pun tertawa.
Betapa pemandangan itu mengherankan para istri Rasulullah r, sampai-sampai ‘Aisyah bertanya padanya, “Apa yang beliau katakan padamu?” “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah r,” jawab Fathimah. Setelah Rasulullah r wafat, Fathimah x pun menyampaikan jawabannya, “Waktu itu beliau membisikkan padaku, ‘Sesungguhnya aku hendak meninggal’. Mendengar itu, aku pun menangis. Lalu beliau berbisik lagi, ‘Sesungguhnya engkau adalah orang pertama di antara keluargaku yang akan menyusulku’. Hal itu membuatku gembira.”
Sepeninggal Rasulullah r, Fathimah menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq z untuk meminta bagian warisannya. Abu Bakr z pun mengatakan padanya, “Rasulullah r berkata: ‘Kami tidak mewariskan. Segala yang kami tinggalkan adalah sedekah’.” Marahlah Fathimah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq z dengan jawaban itu. Kemarahan itu terus tersisa hingga menjelang Fathimah x wafat.
Benarlah apa yang dikabarkan oleh lisan mulia Rasulullah r. Sekitar enam bulan setelah Rasulullah r wafat, Fathimah x menyusul sang ayah menghadap kepada Rabbnya U.
Ketika Fathimah x tengah sakit menjelang wafatnya, Abu Bakr z datang, meminta izin untuk menemui Fathimah. Pada saat itu Abu Bakr z meminta kelapangan Fathimah x untuk memaafkan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Fathimah. Fathimah pun melapangkan hati memberikan maaf dan ridha kepada Abu Bakr z.
Tak lama berselang, pada bulan Ramadhan tahun kesebelas setelah kenabian, Fathimah x, kembali ke hadapan Rabbnya pada usianya yang ke-29. Jauh sebelum meninggal, Fathimah pernah berpesan pada Asma’ bintu ‘Umais x, agar tak seorang pun masuk untuk memandikan jenazahnya kecuali suaminya, ‘Ali bin Abi Thalib z dan Asma’. Demikianlah, Asma’ bintu ‘Umais x menunaikan pesan Fathimah.
Datanglah ‘Aisyah x untuk turut memandikannya, namun Asma’ melarangnya hingga ‘Aisyah mengadu kepada ayahnya. Abu Bakr z pun datang dan berdiri di pintu sembari menanyakan peristiwa itu kepada Asma’. “Dulu Fathimah menyuruhku demikian,” ucap Asma’. “Jika demikian, lakukan apa yang dia perintahkan,” jawab Abu Bakr, lalu beranjak pergi.
Fathimah diusung dengan keranda yang dibuat oleh Asma’ bintu ‘Umais x. Jenazahnya dibawa turun ke kuburnya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan Al-Fadhl bin Al-’Abbas g. Malam itu, Fathimah x dikuburkan oleh suaminya, ‘Ali bin Abi Thalib z.
Fathimah x telah tiada. Namun dia tinggalkan ilmu yang diambilnya dari sang ayah kepada beberapa shahabat; putranya Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Anas bin Malik dan yang lainnya g. Dialah yang mendapatkan janji dari lisan Rasulullah r yang mulia, sebagai pemimpin para wanita kaum mukminin di surga.
Fathimah bintu Rasulullah r, semoga Allah meridhainya….
(ditulis oleh: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Majalah AsySyariah Edisi 013
Sumber bacaan :
· Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1893-1899)
· Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’ad (8/19-29)
· Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz Dzahabi (2/118-134)